Penjelasan Tentang Dusta Yang Diperbolehkan

Dusta merupakan perkara terlarang dalam agama Islam, hal ini telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka. Namun ada sebab-sebab yang menjadikan dusta justru dibolehkan tentu dengan kaidah-kaidah yang syar’i. Berikut ini penjelasannya dalam kitab Riyadhus Shalihin lil Imam An Nawawi Rahimahullahu Ta’ala, dalam bab "Bayaanu Maa Yajuzu minal Kadzibi (Penjelasan Tentang Dusta Yang diperbolehkan)". Semoga bermanfaat.

Al Imam An Nawawi Rahimahullahu Ta’ala

Ketahuilah bahwasanya dusta itu, sekalipun asal hukumnya adalah diharamkan, tetapi dapat menjadi boleh dalam sebagian keadaan, yakni dengan beberapa syarat yang sudah saya terangkan dalam kitab Al-Adzkar. Adapun ringkasan keterangan tersebut ialah:

Bahwasanya pembicaraan itu adalah sebagai perantaraan untuk menuju kepada sesuatu maksud. Maka dari itu, semua maksud yang baik yang untuk menghasilkannya itu dapat dilakukan tanpa berdusta, maka berdusta dalam keadaan demikian adalah haram, tetapi jikalau maksud baik itu tidak mungkin dihasilkannya melainkan dengan berdusta maka bolehlah berdusta dalam keadaan demikian. Selanjutnya, apabila menghasilkan maksud itu merupakan sesuatu yang mubah, maka berdusta di situ juga mubah hukumnya, sedang jikalau menghasilkannya itu merupakan sesuatu yang wajib, maka berdusta itupun menjadi wajib pula hukumnya. Misalnya jikalau ada seseorang Muslim bersembunyi dari kejaran seorang yang zalim dan menginginkan akan membunuhnya atau hendak mengambil hartanya dan orang itu menyembunyikan hartanya, lalu ada seseorang yang ditanya, maka wajiblah yang ditanya itu berdusta dengan maksud untuk menyembunyikan orang tersebut. Demikian pula jikalau di sisinya ada suatu amanah dan ada seorang zalim yang hendak mengambilnya, maka wajiblah yang diamanahi itu berdusta dengan maksud menyembunyikannya. Tetapi yang lebih berhati-hati dalam kesemuanya ini ialah melakukan tawriyah. Makna tawriyah ialah menggunakan sesuatu ibarat atau kata-kata yang adalah benar menurut dirinya sendiri, namun tampaknya sebagai kata-kata dusta menurut lahiriyahnya lafaz yang diucapkan itu, nisbat bagi pemahaman orang yang diajaknya berbicara. Sekalipun demikian, andaikata ia tidak menggunakan tawriyah, langsung saja menggunakan ucapan yang benar-benar dusta, maka hal itu pun tidak dilarang dalam keadaan ini.

Para ulama mengambil dalil tentang bolehnya berdusta itu ialah dengan Hadis Ummu Kultsum Radhiallahu ‘anha bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فينمي خيراً أو يقول خيراً

"Tidaklah disebut dusta, orang yang bermaksud mengadakan perbaikan hubungan di antara manusia yang sedang berselisih, lalu ia menyampaikan sesuatu berita yang baik-baik atau mengucapkan yang baik-baik." (Muttafaq ‘alaih)

زاد مسلم في رواية: قالت أم كلثوم: ولم أسمعه يرخص في شيء مما يقول الناس إلا في ثلاث. تعني الحرب والإصلاح بين الناس وحديث الرجل امرأته وحديث المرأة زوجها.

Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya: Ummi Kultsum berkata: "Saya tidak pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam meringankan dalam segala sesuatu yang diucapkan oleh para manusia itu, melainkan dalam tiga keadaan, yaitu dalam peperangan, dalam mengadakan hubungan baik antara manusia yang sedang berselisih, dan ucapan seseorang suami terhadap isterinya atau seorang isteri terhadap suaminya"

Wallahu a’lam.

Teks versi bahasa Arab:

أعلم أن الكذب وإن كان أصله محرماً فيجوز في بعض الأحوال بشروط قد أوضحتها في كتاب: الأذكار (انظر باب النهي عن الكذب وبيان أقسامه من الأذكار) ، ومختصر ذلك أن الكلام وسيلة إلى المقاصد. فكل مقصود محمود يمكن تحصيله بغير الكذب يحرم الكذب فيه، وإن لم يمكن تحصيله إلا بالكذب جاز الكذب. ثم إن كان تحصيل ذلك المقصود مباحا كان الكذب مباحاً، وإن كان واجباً كان الكذب واجباً؛ فإذا اختفى مسلم من ظالم يريد قتله أو أخذ ماله وأخفى ماله وسئل إنسان عنه وجب الكذب بإخفائه، وكذا لو كان عنده وديعة وأراد ظالم أخذها وجب الكذب بإخفائها؛ والأحوط في هذا كله أن يوَرِّي. ومعنى التورية: أن يقصد بعبارته مقصوداً صحيحاً ليس هو

كاذباً بالنسبة إليه وإن كان كاذباً في ظاهر اللفظ وبالنسبة إلى ما يفهمه المخاطب، ولو ترك التورية وأطلق عبارة الكذب فليس بحرام في هذا الحال. واستدل العلماء بجواز الكذب في هذا الحال بحديث أم كلثوم رَضِيَ اللَّهُ عَنْها أنها سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يقول: <ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فينمي خيراً أو يقول خيراً> مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

زاد مسلم في رواية: قالت أم كلثوم: ولم أسمعه يرخص في شيء مما يقول الناس إلا في ثلاث. تعني الحرب والإصلاح بين الناس وحديث الرجل امرأته وحديث المرأة زوجها.

Kami adalah penuntut ilmu, seorang sunniy salafy

Ditulis dalam Akhlak Salaf, Kitab Riyadhus Shalihin, Potret Keluarga, Urgensi Dakwah
KALENDER HIJRIAH

"Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Al Fatawa 4/149)

:: Pengunjung Blog Sunniy Salafy disarankan menggunakan Google Chrome [Klik disini] supaya daya jelajah anda lebih cepat ::

Radio Sunniy Salafy

Kategori
Permata Salaf

image