Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid’ah Bagian 4

Syaikh Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili

(Bagian 4)


Adapun menikahnya seorang pria dari Ahlus Sunnah dengan seorang wanita yang bid’ahnya tidak sampai ke batas kekufuran, maka pernikahannya dengan sang wanita itu sah. Alasannya, karena kekufu’an hanya disyaratkan pada pihak sang pria yaitu syarat sekufu’ dengan sang wanita, dan tidak disyaratkan kekufu’an bagi sang wanita untuk sekufu’ dengan sang pria. Inilah yang diyakini jumhur ulama. Mereka berkata: Karena hal tersebut, maka sang pria tidak bisa dicela disebabkan sang istri lebih rendah darinya, dan dia tidak akan mendapat bahaya dengan sebab tersebut. Berbeda dengan wanita, dia akan dicela dengan memiliki suami yang lebih rendah dari dia, dan wanita tersebut akan terganggu dengan hal itu karena sang pria bisa saja men-thalaq (cerai)-nya di setiap waktu. Dia (sang pria) bisa berlaku leluasa terhadap dirinya, berbeda dengan wanita tersebut [1].

Dan Di Sini Perlu Diberi Peringatan Penting, Yaitu Permasalahan Sahnya Pernikahan Seorang Pria Mubtadi Dengan Wanita Sunni.

Secara syariat, kesepakatan sang wanita dan para walinya dan sahnya pernikahan seorang pria Ahlus Sunnah dengan wanita Ahlul Bidah, tidaklah menunjukkan ditekankannya (atau dibolehkannya tanpa ada bahaya, ed.) pernikahan Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bidah. Hukum sahnya pernikahan mereka setelah terpenuhinya syarat-syarat kesahannya merupakan suatu masalah, dan keridlaan terhadap pernikahan mereka adalah suatu masalah lain lagi. Bahkan, telah jelas larangan keras menikahnya pria-pria Ahlul Bidah dengan wanita-wanita Sunni menurut Ahlus Sunnah, disebabkan karena sangat besarnya bahaya-bahaya yang dapat terjadi akibat pernikahan para pria Ahlul Bid’ah dengan para wanita Ahlus Sunnah.

Syari’at memberi keterangan bahwa sahnya akad mereka itu bisa memberikan kerugian kepada masing-masing pihak, seperti kepada sang wanita dan para walinya. Inilah yang dimaukan akal sehat, yakni mereka menolak pernikahan itu karena akan timbul bahaya-bahaya akibat mereka menikahkannya dengan sang pria Ahlul Bid’ah. Jika mereka setuju, berarti masing-masing pihak telah menyia-nyiakan hak dirinya dan hak lainnya akibat pernikahan ini.

Seorang pria Ahlus Sunnah bila dia menikahi wanita Ahlul Bid’ah, dia telah dianggap berlaku jelek dalam pilihan tersebut. Dia berarti telah menyia-nyiakan hak dirinya dengan menikahi wanita tersebut, karena pernikahan tersebut memberikan dampak negatif terhadap diri dan keluarganya. Sebagaimana juga, dia telah menyia-nyiakan hak anak-anaknya dengan memilihkan untuk mereka seorang ibu yang tidak shalih. Sang ibu memiliki pengaruh yang besar dalam membimbing anak-anaknya dalam akidah dan akhlak, juga bisa menyimpangkan mereka dari agama yang lurus, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan di atas fitrah, kedua orangtuanyalah yang mengubahnya menjadi seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak yang sehat (Yakni bersih dari aib-aib yang terkumpul padanya anggota badan yang sempurna (sehat) maka tidak ada kecacatan dari kay (ditusuk dengan besi panas). (An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/296). Apakah kalian melihat padanya ada kecacatan (Yakni terputus ujungnya atau dari salah satu darinya (anggota badan itu). (An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/247) [2]. Selain ini juga cercaan yang didapat sang anak karena memiliki ibu yang Ahlul Bid’ah.

Demikian juga sang wanita, bila dia ridla dengan dinikahi sang mubtadi, berarti dia sedang menuntun bahaya menuju keluarganya secara umum akibat adanya hubungan pernikahan dengan sang mubtadi tersebut. Ikatan mushaharah (hubungan karena pernikahan) dan berkumpul dengan sang mubtadi ini dapat memberikan efek negatif kepada rumah tersebut. Sebagaimana hal ini (wali) bisa menyakiti wanita yang dia tanggung khususnya, karena dia menikahkannya dengan sang mubtadi tersebut yang dia tidak bisa memilih dengan baik. Dan wanita tersebut (perlu selalu, ed.) dinasihati untuk bersikap (benar sesuai syariat, ed.) terhadap sang pria karena dikhawatirkan dia (sang wanita) dengan keberaniannya menikah akan membuatnya menyimpang dari akidah yang benar dan mengikuti akidah sang suami karena wanita bisa dikuasai, lemah, dan sedikit kesabarannya. Oleh karena itu, Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Siapa yang menikahkan saudara wanitanya dengan sang pria mubtadi, berarti dia telah memutus hubungan kekeluargaannya dengan sang wanita." (Al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah hal. 60, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/733, Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 19, dan As-Suyuthi dalam Al-Amru bi Ittiba’ hal. 81)

Yang lebih parah dari itu dalam pernikahan dengan pria Ahlul Bid’ah -jika dia termasuk yang mendakwahkan bid’ahnya- berarti mereka (sang wanita dan para walinya, ed.) tidak menyikapinya dengan benar, seperti mengisolirnya, membentaknya agar dia bertaubat dari bid’ahnya, dan hal-hal yang bisa memberikan kebaikan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan sebelum itu, dalam pernikahan tersebut mereka menyia-nyiakan hak Allah yang harus ditunaikan dengan mereka berwala’ (loyalitas) kepada musuh-musuh-Nya, mencintai mereka, mendekati mereka, tidak membenci serta menjauhi mereka karena Allah.

Ringkasnya, pernikahan dengan Ahlul Bid’ah yang masih dianggap termasuk muslimin, baik pria maupun wanita, adalah makruh (dibenci) menurut Ahlus Sunnah dengan kebencian yang keras, karena akan menimbulkan efek-efek negatif, menyia-nyiakan hak dan kebaikan-kabaikan. Oleh karena itu, para Salaf melarangnya untuk menjaga hal tersebut.

Imam Malik berkata, "Ahlul Bid’ah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah), jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam kepada mereka, jangan shalat di belakang mereka, dan jangan iringi jenazah-jenazah mereka." (Al-Mudawanah 1/84)

Imam Ahmad berkata, "Siapa yang tidak menomor-empatkan Ali bin Abi Thalib dalam khilafah, maka kalian jangan mengajak bicara dan menikahkannya." (Thabaqatul hanabilah, Ibnu Abi Ya’la 1/45).

Dengan ini saya tutup pasal ini setelah menerangkan sikap Ahlus Sunnah dalam hal pernikahan dengan Ahlul Bid’ah, apakah mereka Ahlul Bid’ah yang kafir atau muslim, sama saja, pria atau wanita, menurut nash-nash yang sesuai dengan syariat dan riwayat-riwayat para Salaf dalam hal tersebut. Alhamdulillah dengan karunia dan taufik-Nya.

(Diambil dari kitab Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlul Ahwa wal Bida’, Edisi Indonesia Hukum Perkawinan Dengan Ahli Bid’ah, Penulis Syaikh Dr Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah Al-Medany, Penerbit Pustaka Al-Ghuraba’ Press, hal. 25-36)

__________
Foote Note
[1]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 9/397, Hasyiyah, Ibnu ‘Abidin 3/85, Al-Fiqhul Islami, Dr. Wahbah Az-Zuhaili 7/239, Al-Fiqh ‘Alal Mazahibil Arba’ah, Abdurrahman Al-Jazairi 4/57, dan Az-Zuwaj wa Ath-Thalaq fil Islam, Badran Abul ‘Ainain hal. 162.
[2]. HR. Bukhari Kitabul Janaiz Bab Idza Aslama Shabiyyu Hal Yushalla Alaih, Fathul Bari 3219 no. 1358. Muslim Kitabul Qadr Bab Makna Kullu Mauludin Yuladu Alal Fitrah 4/2047 no. 2658.

Kami adalah penuntut ilmu, seorang sunniy salafy

Ditulis dalam Matikan Bid'ah, Potret Keluarga
KALENDER HIJRIAH

"Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Al Fatawa 4/149)

:: Pengunjung Blog Sunniy Salafy disarankan menggunakan Google Chrome [Klik disini] supaya daya jelajah anda lebih cepat ::

Radio Sunniy Salafy

Kategori
Permata Salaf

image