Demokrasi Bukanlah Jalan Kebenaran

Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi


Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa jalan yang mengantarkan kamu kepada nikmat Islam itu hanya satu, karena Allah telah menetapkan keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah berfirman:

أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Mereka itu adalah golongan Allah. Ketahuilah sesungguhnya golongan Allah, mereka itulah yang beruntung.” (QS. Al Mujadillah: 22)

Allah juga menetapkan bahwa kemenangan juga hanya untuk satu golongan. Allah berfirman:

وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

“Dan Barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolong, maka sesungguhnya golongan (pengikut agama) Allah mereka itulah orang yang mendapat kemenangan.” (QS. Al Maidah: 56)

Kalau kita membaca ayat Al Qur’an atau hadits, maka akan kita dapatkan keterangan bahwa perpecahan umat menjadi beberapa golongan atau kelompok sangat dicela dan dibenci. Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, (yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Ruum: 31-32)

Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wata’ala akan membiarkan umat-Nya terpecah menjadi berkelompok-kelompok setelah Dia mempersatukannya dengan tali agama-Nya. Dan Allah juga telah membebaskan Nabi-Nya Shallallahu’alaihi wasallam dari tanggung jawab terhadap orang-orang yang berkelompok-kelompok serta memberi peringatan kepadanya agar tidak terjatuh ke dalam perpecahan itu. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka menjadi berkelompok-kelompok tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (QS. Al An’am: 159)

Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan bahwa dia berkata:

إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِي عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي الناَّرِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قَالُوا: وَمَنْ هِيَ، ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ الْْيَوْمَ وَأَصْحاَبِي

“Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda: ‘Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari  kalangan Ahlul Kitab terpecah menjadi 72 gotongan dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan; 72 golongan di dalam  neraka dan 1 golongan berada di surga. (Satu golongan itu) adalah Al-]ama’ah.'” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimi, Ath Thabrani dan Iain-Iain) [1]

Ash Shan’ani rahimahullah berkata: “Penyebutan bilangan dalam hadits itu bukan untuk menjelaskan banyaknya orang-orang yang celaka dan merugi, akan tetapi untuk menjelaskan betapa luas jalan-jalan menuju kesesatan serta betapa banyak cabang-cabangnya, sedangkan jalan menuju kebenaran hanya satu. Hal itu serupa dengan apa yang disebutkan oleh para Imam Tafsir tentang firman Allah:

وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

“Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan mereka (karena jalan-jalan itu) akan memecah belah kamu dari jalan-Nya.” (QS.Al An’am: 153)

Mereka mengatakan bahwa ‘jalan’ yang dilarang untuk diikuti dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk jamak yaitu ‘subul’ dimaksudkan untuk menjelaskan luas dan banyaknya jalan yang mengantarkan kepada kesesatan sedangkan jalan kebenaran dan petunjuk dalam ayat ini disebutkan dengan bentuk tunggal karena memang jalan menuju kebenaran itu hanya satu dan tidak terbagi-bagi.” [lihat hadits iftiraqul ummah di atas]

Dari Ibnu Mas’ud berkata:

خَطَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًا. قَالَ: ثُمَّ خَطَّ عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ السُّبُلُ وَلَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلاَّ عَلَيْهَا شَيْطاَنٌ يَدْعُو إِلَيْهِ. ثُمَّ قَرَأَ: {وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ

“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam membuat untuk kami sebuah garis lurus dan bersabda: ‘Ini adalah jalan Allah.’ Kemudian beliau membuat garis-garis lain di kanan dan kirinya, dan bersabda: ‘Ini jalan-jalan lain dan pada setiap jalan ini terdapat syaitan yang menyeru ke jalan-jalan tersebut.’ Beliau lalu membaca (firman Allah Ta’ala): ‘Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus. Oleh karena itu, ikutilah. Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain yang akan memecah belah kamu dari jalan-Nya.'” (QS. Al An’am:153) [Riwayat Ahmad (1/435) dan lainnya. Riwayat ini Shahih.]

Secara jelas hadits ini menjadi dalil bahwa jalan yang benar itu hanya satu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Hal ini karena sesungguhnya jalan menuju Allah hanya satu, yang tak lain adalah jalan yang telah Allah sampaikan kepada para rasul melalui kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. Tidak ada seorang pun yang bisa sampai kepada-Nya kecuali jika ia melewati jalan ini. Dan seandainya manusia datang dengan melewati semua jalan yang ada atau berusaha mengetuk semua pintu yang ada, maka seluruh jalan dan pintu itu tertutup dan terkunci kecuali hanya jalan yang satu ini yang terhubung langsung dengan Allah, dan bisa menyampaikan mereka kepada-Nya. [At Tafsir Al Qayyim hal. 14-15]

Saya berkata: “Bahkan banyaknya jalan (seharusnya) anda semakin ragu terhadapnya dan tidak peduli dengan jalan-jalan tersebut. Banyaknya golongan atau firqah-firqah yang melenceng dari kebenaran dikarenakan mereka terlalu longgar atau serba membolehkan munculnya jalan yang banyak ini atau memang menghindar dari jalan yang hanya satu, atau ingin segera sampai ke tujuan dan takut menanggung beban perjalanan yang jauh.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menganggap perjalanannya panjang, maka langkahnya akan melemah.” [Al Fawaid hal. 90, cetakan Daar AI Kutub Al ‘llmiyah]

Hanya Allahlah yang dimintai pertolongan Wallahu musta’an.

Definisi Jalan. Dari keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas maka jelaslah bagi kita akan maksud dari ‘jalan’ ini, bahwa yang dimaksud dengan ‘jalan’ tersebut adalah rukun kedua dari tauhid itu sendiri. Rukun pertama adalah syahadat Laa Ilaaha Illallaah. Dan rukun yang kedua adalah syahadat bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah. Rukun ini sekaligus merupakan rukun atau syarat kedua diterimanya amal seseorang, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa amal seseorang tidak akan diterima kecuali jika disertai dua syarat:

1. Ikhlas karena Allah Ta’ala semata.
2. Menjadikan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sebagai teladan satu-satunya.

Dan sekarang aku tidak hendak memaparkan dalil-dalil terhadap kaidah yang masyhur ini, karena tujuan dari pembahasan ini adalah menjelaskan jalan atiu metode yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu’alaihi wasallam yang merupakan satu-satunya jalan yang bisa menyampaikan kita kepada Allah. Sesungguhnya ketidaktahuan terhadap jalan yang akan ditempuh, apa saja halangan serta rintangannya maupun tujuan yang ingin dicapai, akan mengakibatkan kepenatan dan kelelahan yang sangat besar, sementara manfaat yang didapat sedikit. [Lihat Al Fawaid oleh Ibnul Qayyim hal. 223]

Pembahasan ini juga hendak menjelaskan bahwa jalan yang benar itu hanya satu. Seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan mengklaim bahwa jalan menuju Allah itu banyak, sebanyak jumlah manusia yang ada, atau sebanyak jumlah benda-benda yang lain, jelas klaim tersebut batil. Agama Allah datang untuk mempersatukan pemeluknya, bukan untuk mencerai-beraikan mereka. Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Dan berpeganglah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah, dan jangan kalian bercerai-berai. Ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika dulu kalian bermusuhan, lalu Dia mempersatukan hati kalian, maka jadilah kalian saling bersaudara dengan nikmat-Nya.” (QS. Al ‘Imran: 103)

Ulama menafsirkan bahwa “tali” dalam ayat di atas yarig bisa menjamin persatuan kaum muslimin adalah Al Qur’an. Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu berkata: “Sesungguhnya ‘jalan’ ini sudah dihamparkan. Setan-setan pun mendatangi jalan tersebut sambil menyeru: ‘Wahai hamba Allah, ayolah kesini! Ini jalannya!’ Padahal mereka ingin menghalangi manusia dari jalan Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu, berpegang-teguhlah kalian kepada tali Allah. Sesungguhnya tali Allah itu adalah Al Qur’an.” [2]

Dalam riwayat ini terdapat dua hal:
Pertama: ‘Jalan’ itu hanya satu. Hanya saja memang jalan ini dikelilingi oleh setan yang menghendaki agar manusia terbagi-bagi dan terpecah-pecah di seputar jalan ini ke dalam berbagai kelompok dan golongan. Cara yang paling mudah untuk memecah-belah manusia adalah dengan menganggap bahwa jalan ini terbagi-bagi atau mempunyai berbagai cabang! Oleh karena itu, siapa yang mempropagandakan agar manusia beranggapan bahwa kebenaran itu tidak terbatas pada satu jalan saja, maka sesungguhnya dia adalah syaitan. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ

“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (QS. Yunus: 32)

Kedua: Tafsir tentang “tali Allah” yang wajib dipegang-teguh oleh seluruh kaum muslimin agar mereka bersatu, yang ditafsirkan dengan Kitabullah (Al Qur’an) tidaklah bertentangan dengan yang dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu bahwa ‘ash shiraathal mustaqiim’ (jalan yang lurus) adalah yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam buat kita (umatnya), yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. [3]

Beliau bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتاَبَ اللهِ وَسُنَّتِي،

“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang jika kalian berpegang dengannya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku selama-lamanya: Kitabullah dan sunnahku.” (HR. Malik, Ibnu Nashr, dan Iain-Iain) [4]

Dan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam itu sama dengan Al Qur’an. Keduanya pada hakikatnya adalah wahyu. Sunnah beliau Shallallahu’alaihi wasallam sebagai tafsir dan penjelasan dari Al Qur’an. Bahkan sebaik-baik penafsir ayat-ayat Allah di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya adalah rasul-Nya sendiri. Allah berfirman:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab supaya engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (QS. An Nahl: 44)

‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata, “Akhlak beliau Shallallahu’alaihi wasallam adalah Al Qur’an.” (HR. Ahmad 6/91, 63 dan Muslim no. 746)

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan umatnya apabila timbul perpecahan diantara mereka supaya berpegang dengan sunnahnya. Beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ، يَرَ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفاَءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهاَ وَعَضُّوْا عَلَيْهاَ بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Dan sesungguhnya siapa saja orang-orang yang hidup di antara kalian sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kalian pegang sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk, peganglah dia dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah.” (HR. Abu Dawud no. 4608, At Tirmudzi no. 2676, dan Iain-Iain. Shahih)

Dalam menjelaskan sebab bersatunya pemahaman para salafush shalih dalam satu aqidah, Ibnu Baththah rahimahullah berkata: “Generasi pertama (dari umat ini) seluruhnya senantiasa berada di atas jalur yang satu, di atas kata hati yang satu dan mazhab yang sama (satu). Al Qur’an adalah pegangan mereka, dan Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam adalah imam mereka. Mereka tidak menggunakan berbagai pendapat dan tidak pula bersandar kepada hawa nafsu. Mereka senantiasa dalam keadaan seperti itu. Hati mereka terjaga dalam lindungan Allah Ta’ala Yang Menguasai dan dengan pertolongan-Nya jiwa mereka terhalang dari kecenderungan mengikuti hawa nafsu.” [Al lbanah / AI Qadr (237)]

Benarlah yang dikatakan beliau rahimahullah bahwa sesungguhnya agama Allah itu satu; tidak lebih. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا

“Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dan sisi Allah, niscaya mereka akan mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa: 82)

Jalan yang kita serukan kepada manusia dan kita ajak mereka untuk melaluinya adalah jalan yang paling terang dan jelas serta paling sempurna dan lengkap. Dari Al Irbadh bin Sariyah Radhiallahu’anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا

“Sesungguhnya aku tinggalkan kalian dalam keadaan terang-benderang; malam seperti siang. Siapa yang menyimpang sesudahku darinya (agama ini) pasti akan binasa.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ai Hakim dan yang lainnya) [5]

Apabila seseorang mencoba menyempumakan agama ini atau menghiasinya dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya, maka sesungguhnya dia telah membelokkan mereka ke jalan-jalan (yang menyimpang), bahkan menyeret mereka ke lembah-lembah kebinasaan. Inilah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dengan perkataan beliau: ” Bid’ah itu sesat” Karena itu pengingkaran sangat keras dilontarkan oleh para salafus shalih terhadap orang-orang yang menambah-nambah agama ini atau memasukan ra’yu (akal pikiran) ke dalamnya.

Berkata Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu: “Janganlah kalian duduk (bergaul) dengan ashhaabur ra’yi (orang-orang yang mengandalkan akal pikiran) karena sesungguhnya mereka adalah musuh As Sunnah. Mereka itu tak mampu menghafal sunnah dan melupakan (dalam satu riwayat: menyepelekan) hadits-hadits untuk dipahami atau dimengerti, dan mereka pun ketika ditanya tentang sesuatu yang mereka tidak tahu (jawabannya), mereka malu untuk mengatakan: “Kami tidak tahu.” Mereka pun berfatwa dengan pendapat mereka sendiri. Mereka sesat dan menyesatkan banyak orang. Mereka tersesat dari jalan yang lurus. Sesungguhnya Nabi kalian diwafatkan oleh Allah setelah Dia mencukupkan agama ini baginya dengan wahyu, sehingga akal tidak diperbolehkan masuk ke dalamnya. Seandainya akal itu lebih utama dibanding As Sunnah maka pastilah bagian bawah dari sepatu lebih pantas untuk dibasuh (ketika berwudhu) dibanding bagian atasnya (karena bagian bawah lebih kotor).” [6]

Demikianlah karena sesungguhnya agama ini dibangun ates dasar ittiba’ (mengikuti) tuntunan Allah, bukan atas dasar rekaan manusia, karena pendapat yang berdasarkan akal umumnya tercela. Ini karena kebanyakan perkara-perkara agama tidak bisa ditunjukkan oleh akal semata, lebih-lebih karena akal manusia itu berbeda-beda dalam kemampuannya (dalam menjangkau perkara-perkara agama -pent) dan dalam memahami, sekalipun terkadang memang pendapat akal itu diterima atau terpuji. [Lihatlah rincian masalah ini oleh Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (1/63)]

Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu berkata: Ikutilah sunnah dan janganlah mengada-adakan sesuatu yang baru, karena sesungguhnya sunnah telah cukup bagi kalian. Dan peganglah oleh kalian (agama) orang-orang yang terdahulu (salafus shalih).” [7]

Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu berkata: “Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang melihatnya baik.”

Berikut ini saya akan membahas tentang pengaruh atau dampak bid’ah dalam merintangi jalan seseorang yang mencari kebenaran. Saya akan mengemukakan sebuah atsar yang bersumber dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu. Atsar ini menunjukkan keluasan ilmu para sahabat radhiallaahu ‘anhum ajma’iin. Diriwayatkan dari Utsman bin Hadir bahwa beliau berkata: “Saya pernah masuk menemui Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu seraya berkata kepada beliau: ‘Berwasiatlah kepadaku!’ Beliau menjawab: ‘Baik (saya akan berwasiat): Hendaklah kamu (senantiasa) bertakwa kepada Allah serta istiqamah dan (senantiasa berpegang-teguh kepada) atsar! Ikutilah sunnah dan jangan mengada-adakan sesuatu yang baru!”‘ [8]

Renungkanlah atsar di atas, ia memuat dua perkara, yaitu:
1. Takwa kepada Allah, maknanya di sini adalah ikhlas karena dia diikuti dengan ittiba’.
2. Ittiba’yang bermakna mengikuti jalan yang lurus sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Kemudian beliau memperingatkan dalam atsar itu sesuatu yang menjadi lawan ittiba’, yaitu bid’ah. Demikianlah umumnya salaf dalam mengemukakan sesuatu; mereka selalu menggunakan kalimat-kalimat yang padat, ringkas menyeluruh dan mencegah (timbulnya penafsiran lain yang berbeda).

Para salafus shalih juga bersikap keras terhadap orang-orang yang mencari-cari pendapat orang-orang yang dianggap berilmu untuk membandingkannya dengan hukum-hukum Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam betapapun tinggi dan mulianya kedudukan orang-orang tersebut. Tidak ragu lagi bahwa meneladani para ahlul ‘ilmi (ulama), mencintai mereka dan mendahulukan mereka daripada orang lain, atau menganggap salah pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapat mereka merupakan perkara yang paling penting. Akan tetapi, ini tentunya selagi mereka tidak bertentangan dengan nas dari dua wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah).

Urwah berkata kepada Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu: “Celaka kamu! Kamu telah menyesatkan manusia, karena kamu memerintahkan orang-orang melakukan umrah pada tanggal sepuluh Dzulhijjah padahal tidak ada umrah pada hari tersebut!?” Dia berkata: “Wahai ‘Uroy (Urwah kecil), tanyalah ibu kamu!” Sahut Ibnu Abbas.

“Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak pernah mengatakan (memerintahkan) seperti itu padahal mereka berdua lebih mengetahui akan perihal Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan lebih taat kepada beliau dibanding anda sendiri,” Tegas Urwah.

“Dari sinikah kalian mengambil sesuatu? Kami mengambil ajaran dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam untuk kalian, tapi kalian berdalih dengan perbuatan Abu Bakar dan Umar!” jawab Ibnu Abbas.

Dalam satu riwayat beliau Radhiallahu’anhu berkata: “Apakah keduanya (Abu Bakar dan Umar) lebih anda utamakan daripada apa yang ada dalam Al Qur’an serta yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam kepada para sahabatnya begitu pula umatnya?”

Dan dalam riwayat yang lain beliau berkata: “Saya kira mereka akan binasa. saya berkata Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda (ini dan itu), sedang mereka berkata Abu Bakar dan Umar melarangnya. [9]

Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata sehubungan dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu ini: “Keterangan Ibnu Abbas ini menunjukkan bahwa siapa saja yang mengetahui suatu dalil tapi ia tidak menerimanya karena taklid kepada imamnya, maka ia wajib ditolak dengan keras, karena ia sesungguhnya telah menyalahi dalil (yang sudah ada sebelumnya).” [Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid hal. 338]

Beliau melanjutkan: “Dan sungguh, kemungkaran ini telah mewabah di mana-mana khususnya menimpa orang-orang berilmu. Mereka memasang tali-tali yang menghalangi (mereka sendiri dan orang lain) mengambil agama dari Al Kitab dan As Sunnah, menghalangi sikap ittiba’ kepada Rasuluilah serta sikap menjunjung tinggi perintah dan larangannya. Mereka berkata, “Kita tidak boleh berdalil dengan Al Kitab dan As-Sunnah, kecuali jika ia seorang mujtahid padahal pintu ijtihad sendiri sudah tertutup!”

Mereka juga mengatakan: ” Imam yang saya ikuti ini lebih memahami dan mengetahui hadits serta nasikh dan mansukh-nya dibanding anda!”

Dan masih banyak lagi pernyataan-pernyataan yang bertujuan mempengaruhi agar orang-orang meninggalkan ittibaa’ kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam -yang tidak bertindak dan bertutur sesuai atau menurut hawa nafsu-, lalu i’timaad (bersandar) kepada seseorang yang tidak terlepas dari kesalahan. Mereka mempertahankan pendapat imamnya itu padahal ada pihak lain dari kalangan imam tidak setuju dan menolak pendapat mereka dengan dalil. Dan seorang imam biasanya hanya memiliki sebagian ilmu itu saja, tidak mungkin seluruhnya.

Yang wajib bagi seorang yang mukallaf (telah terbebani pelaksanaan syariat pem) apabila dia mengetahui ada dalil dari Al Kitab dan Sunnah Rasul-Nya, hendaknya dia mengamalkan dalil tersebut, sekalipun orang-orang menyelisihinya. Ini sebagaimana difirmankan oleh Allah:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jangan mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Akan tetapi, sangat sedikit kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al A’raf: 3)

Allah berfirman:

أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) yang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bag! orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ankabut: 51)

Telah dijelaskan di muka bahwa para ulama telah ijma’ dalam masalah itu. Begitu pula telah dijelaskan bahwa orang yang taklid (muqallid) itu tidak digolongkan ahlu ‘ilmi. Abu Amr bin Abdil Barr serta yang lainnya juga menyebutkan adanya ijma’ ini. [Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid hal. 339-340]

Dan kita juga sudah mengetahui betapa para salafus shalih sangat mengagungkan sunnah hingga sangat keras terhadap orang-orang yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i Rahimahullah. Beliau pernah mengadukan Bisyr Al Marisi -seorang pengikut paham mu’tazilah- kepada Al Qadhi Abu Al Bakhtari. Beliau rahimahullah berkata: “Aku berdebat dengan Al Marisi dalam perkara undian (qur’ah). [10]

Berkata Al Marisi: ‘Ya Abu Abdillah undian ini adalah judi!’ Maka aku mendatangi Abu Al Bakhtari dan aku katakan kepadanya: “Aku mendengar Al Marisi berkata, ‘Al Qur’ah adalah judi!'” Dia (Al Qadhi)  berkata: “Wahai Abu Abdillah, datangkan saksi yang lain, biar aku bunuh dia.” Dalam riwayat yang lain: “Datangkan saksi yang lain, biar aku angkat dia di atas kayu lalu aku salib dia.” [11]

[Diambil dari kitab Sittu Duror min Ushuul Ahlil Atsar, Penulis Asy Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Penerbit Maktabah Al Ilmiyah, Judul Asli: Landasan 2 – Jalan Kebenaran Hanya Satu]

_________
Footnote

[1] Riwayat Ahmad (4/102), Abu Dawud (4597), Ad Darimy (2/241), Ath Thabrani (19/376,884-885), Al Hakim (1/128) serta selain mereka dan riwayat ini Shahih. Riwayat Ahmad (2/332), Abu Dawud (4596), At Tirmidzi (2642), Ibnu Majah (3990), Abu Ya’la (5910,5978,6117) Ibnu Hibban (14/6247) dan (15/6731) dan Hakim (1/6, 128) dan selain mereka dari Abu Hurairah, Abu Hurairah mempunyai riwayat lain yang banyak dari Anas, Abdullah bin Amr bin Ash, dan selain mereka berdua. Di-shahih-kan oleh Tirmidzi, Hakim, Adz Dzahabi, Al Juzjaani dalam Al Abaathil (1/302) Al Baghawi dalam Syarh As Sunnah (1/213) As Syatibi dalam Al I’tisham {21/698) Ibnu Taimiyah dalam Majmu (3/345) Ibnu Hibban dalam Shahirmya (8/48) Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (1/390) Ibnu Hajar dalam Takhrij Al Kasysyaf no. 63, Al ‘Iraqi dalam Al Mughni’ dan Hamsfar(3240), Al Buwshiri dalam MisbahAz Zujaajah (4/180) Al Albani ‘Silsilah As Shahihah (203) dan riwayat yang lain yang jumlahnya sangat banyak. Sengaja saya sebutkan ini untuk membungkam para ahlu bid’ah yang mencoba men-dhaif-kan hadits ini. Tetapi usaha mereka sia-sia. Hadits yang menurut Imam Hakim, hadits yang sangat agung sebagaimana ditetapkan oleh ahlul hadits dalam masalah aqidah.
[2] Riwayat Abu Ubaid dalam Fadhailul Qur’an (hal.75), Ad Darimi (2/433), Ibnu Nashir dalam As Sunnah (22), Ath Tabrani (9/9031) dan Ibnu Bathah dalam Al Ibanah (135). Riwayat ini Shahih.
[3] Riwayat Ath Thabrani (10/454), Al Baihaqy dalam Asy Syu’ab (4/1487) dan semisal itu juga Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (8/88-89) dan Ibnu Wadhah dalam (76). Riwayat ini shahih.
[4] Riwayat Malik (2/899), Ibnu Nashr dalam As-Sunnah (68), Al Hakim (1/93). Al Albani menilai hasan hadits ini dalam ta’liqnya terhadap kitab Al Misykaat (186)
[5] Riwayat Ahmad (4/126), Ibnu Majah (5,43), Ibnu Abi ‘Aasim dalam As-Sunnah (47-49), Al Hakim (1/ 96). Al Albani dalam Ihilaal Al Jannah ketika mentahkrij kitab As Sunnab (1/27).
[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Zamanin dalam Ushulus Sunnah (8), Al Laalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad (201), Al Khatib Al Baghdadi dalam Al Faqih wal Mutafaqqih (276-480), Ibnu Abdil Baar dalam Jami’ Bayan (2001) dan (2003-2005), Ibnu Hazm dalam Al Ihkam (6/42-43), Al Baihaqi dalam Al Madkhal (213), Qowam As Sunnah dalam Al Hujjah (1/205). Pada sebagian sanadnya ada kelemahan dan pada sanad yang lain ada yang munqati’ (terputus). Akan tetapi riwayat-riwayat tersebut saling menguatkan. Barangkali karena ini Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Sanad-sanad riwayat ini yang diriwayatkan dari ‘Umar sangat Shahih.” (I’lamul Muwaqqi’in no. 44)
[7] Riwayat Al Waqi’ dalam Az Zuhud (315), Ahmad dalam Az Zuhd (hal.62), Ad Darimi (1/69), Ath Thabrani (9/ 8770,8845), Al Baihaqy dalam Al Madkhal (387-388), Al Khatib dalam Al Faqih wal Muttafaqqih (1/43) dan men-shahih-kannya Al Albani dalam ta’liqnya kepada kitab yang ditulis oleh Abi Khaisyamah 99. Riwayat Ibnu Nashr dalam As Sunnah (82), Al Laalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad (126) dan Al Baihaqy dalam AI Madkhal dan riwayat ini shahih
[8] Riwayat Ad Darimi (1/53), Ibnu Waddhah dalam Al Bida’ (60), Ibnu Nashr dalam As Sunnah (83), Ibnu Batthah dalam Al Ibanah / AI Iman (200,206) dan Al Khatib dalam Al Faqih wa Mutafaqqihi (1/173) dari dua jalan yang saling menguatkan.
[9] Riwayat Ishaq bin Rahawaih seperti tercantum dalam Al Mathalib Al ‘Aliyah (1306-Al Wathn), Ibnu Abi Syaibah (4/103), dan dari jalannya Ath Thabrani (24/92), dan Ahmad (1/202,323,337), Ath Thabrani (24/92) dan dalam Al Ausath (1/42), Al Khatib dalam Al Faqih wa Mutafaqqih (379,380), Ibnu ‘Abdil Baar dalam Jaami- nya (2378,2381). Ibnu Hajar menilai shahih riwayat ini dalam Al Mathaalib dan Al Haitsami menilainya hasan dalam Al Jami’ (3/234)
[10] Dalam riwayat ‘Imran bin Hushain disebutkan: “Ada seorang laki-laki yang membebaskan enam budak. Tatkala datang kematiannya, tidak ada harta yang ditinggalkannya selain mereka. Rasulullah memanggil mereka, beliau membagi-bagi mereka menjadi tiga kelompok kemudian beliau mengundinya. Beliau membebaskan yang dua dan mengembalikan (sebagai budak) yang empat, lalu beliau berkata kepadanya dengan perkataan yang membekas..”
[11] Riwayat Al Khalaal dalam As-Sunnah (1735) dan Al Khatib dalam (7/60) dengan sanad Shahih
 

Kami adalah penuntut ilmu, seorang sunniy salafy

Ditulis dalam Demokrasi dan Pemilu, Penegakan Khilafah
KALENDER HIJRIAH

"Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Al Fatawa 4/149)

:: Pengunjung Blog Sunniy Salafy disarankan menggunakan Google Chrome [Klik disini] supaya daya jelajah anda lebih cepat ::

Radio Sunniy Salafy

Kategori
Permata Salaf

image