Demokrasi Menyelisihi Al Quran dan As Sunnah Sesuai Pemahaman Salafus Shalih

Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi


Sesungguhnya tidak ada perselisihan di kalangan kaum muslim sejak dahulu hingga sekarang, bahwa jalan yang Allah ridhai untuk kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Jalan itulah yang harus mereka lewati, meskipun terkadang mereka berbeda pendapat ketika mengambil dalil jalan tersebut. Allah telah menjamin akan menganugerahkan keistiqamahan (konsisten di jalan yang lurus) kepada orang-orang yang mengikuti Al Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah tentang perkataan jin dalam Al Qur’an.

قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ

“Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lag] memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS. Al Ahqaaf: 30)

Allah juga menjamin akan memberikan keistiqamahan kepada para pengikut Rasul yang disebutkan dalam firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy Syura: 52 )

Akan tetapi, sayang, umat Islam berpaling dari jalan (yang lurus) menjadi berkelompok-kelompok. Ini karena mereka telah melalaikan rukun yang ketiga yang berfungsi sebagai pendukung (untuk memahami) Al Qur’an dan As Sunnah. Rukun yang ketiga itu adalah pemahaman para salafus shalih terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Dan surat Al Fatihah telah mencakup rukun-rukun yang tiga ini dengan penjelasan yang sempurna. Allah berfirman:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al Fatihah: 6)

Ayat ini mencakup dua rukun yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana telah dijelaskan di muka. Sedangkan firman-Nya:

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka.” (QS. Al Fatihah: 7)

Ayat ini mencakup rukun yang ketiga yaitu mengikuti pemahaman salaf dalam meniti jalan yang lurus ini. Tidak diragukan lagi barangsiapa berpegang teguh dengan Al Qur’an dan As Sunnah, berarti dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus. Akan tetapi tatkala pemahaman manusia terhadap Al Qur’an dan As Sunnah berbeda-beda, ada yang benar dan ada yang keliru, atau tidak seragam maka dibutuhkanlah suatu jalan keluar. Untuk mengantisipasi bahkan menghilangkan perbedaan pandangan atau perselisihan ini maka haruslah ada rukun yang ketiga yaitu mengikuti pemahaman salafus shalih.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Renungkanlah hikmah yang indah tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sebab sekaligus balasan bagi ketiga kelompok (yang disebutkan dalam surat Al Fatihah ayat terakhir). Dengan pemyataan yang sangat ringkas dan padat bahwa anugerah yang diberikan kepada hamba-hamba yang pantas mendapatkannya (kelompok pertama) adalah mencakup nikmat hidayah berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.” [Madarijus Salikin]

Beliau melanjutkan: “Siapa saja yang lebih mengetahui kebenaran serta istiqamah mengikutinya maka ia lebih pantas untuk mendapatkan ashshiraathal mustaqiim ini. Tidak diragukan lagi para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang Allah ridhai, yang paling pantas mendapat anugerah ini dibanding golongan Rawafidh (Syi’ah dan para pencela dan pencaci sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) Karena itu para ulama  menafsirkan shiraatal mustaqiim dengan Abu Bakar, Umar serta sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang lain.” [1]

Dalam pernyataan beliau rahimahullah di atas terdapat penegasan, bahwa manusia yang paling utama yang telah Allah beri nikmat berupa ilmu dan amal adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, karena mereka menyaksikan Al Qur’an diturunkan dan mereka mengalami langsung petunjuk Rasul yang mulia Shallallahu’alaihi wasallam. Dengan demikian penafsiran dan pemahaman merekalah yang paling benar dan selamat. Ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu:

“Barangsiapa di antara kalian ingin mengikuti sunnah, maka ambillah dari orang yang telah wafat, karena orang yang masih hidup tidak akan selamat dari fitnah. Orang-orang yang telah wafat ini adalah para sahabat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Mereka adalah generasi terbaik dari umat ini dan yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya (tidak suka memperberat-berat dalam agama -pent). Mereka adalah kaum yang telah dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi wasallam serta menegakkan agama-Nya. Karena itu, pahami keutamaan dan kemuliaan mereka dan ikutilah jejak mereka dan berpegang teguhlah kepada akhlak dan agama mereka semampu kalian. Sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” [2]

Beliau menambahkan: “Sesungguhnya Allah memandang kepada hati para hamba-Nya. Dia mendapati Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam adalah orang yang paling baik hatinya. Lalu Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian Allah kembali memandang hati hamba-hamba-Nya yang lain. Dia mendapati para sahabat adalah orang-orang yang paling baik hatinya setelah beliau Shallallahu’alaihi wasallam. Allah lalu jadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya dan mereka berperang membela agama-Nya. Maka apa yang menurut kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka sesuatu itu baik pula disisi Allah; dan apa yang menurut mereka sebagai sesuatu yang jelek, maka sesuatu itu jelek pula disisi Allah.” [Riwayat Ahmad (1/379) dan lainnya. Riwayat ini hasan]

Kalau begitu, maka kaum muslimin yang dimaksud oleh Ibnu Mas’ud adalah para sahabat Radhiallahu’anhum.

Berkata Imam Ahmad rahimahullah: “Pokok-pokok As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dipegang oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam serta mengikuti mereka." [Al Lalikaai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah (317) dan Ibnul Jauzi dalam Manaqib Ahmad hal. 23]

Dan orang-orang yang mengikuti petunjuk merekalah yang akan memperoleh ridha Allah. Allah Ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.” (QS. At Taubah: 100) [Lihat cara Imam Malik mengambll dalil dari ayat ini dalam I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim (4/94-95)]

Dan telah ditegaskan dalam suatu hadits bahwa masa (kurun waktu) yang dipergunakan sebagai standar dalam memahami nas adalah masa tiga generasi terbaik. Tidak boleh seorangpun menyelisihi mereka dengan mengada-adakan pemahaman yang baru yang tidak dipahami oleh mereka. Hadits yang dimaksud adalah dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

‘Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.'” (HR. Bukhari no. 2602 dan Muslim no. 2033) [Dan keraguan dalam penyebutan jumlah generasi bisa dilihat di silsilah Ash Shahihah karya Al Albani nomor 700]

Al Imam Abdul Hamid bin Badis rahimahullah berkata: “Islam itu sesungguhnya hanya ada di dalam Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan apa yang dilakukan oleh para salaf dari tiga generasi yang dipersaksikan kebaikannya lewat ucapan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam." [Atsar Imam ‘Abdul Hamid bin Baadiis (5/73)]

Pokok pegangan ini memiliki pandangan dan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, di antaranya firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Barangsiapa yang mendurhakai Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jabannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An Nisa: 115)

Nampak dari ayat ini adanya penggabungan antara menjauhi jalannya orang-orang yang beriman dengan penentangan terhadap Rasul, menyebabkan munculnya ancaman yang sangat keras. Padahal sebenarnya tindakan menentang Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam saja sudah cukup untuk mendapatkan kerugian yang sangat besar sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu waTa’ala di dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَشَاقُّوا الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا وَسَيُحْبِطُ أَعْمَالَهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dan jalan Allah serta memusuhi Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (QS.Muhammad: 32) [Lihat Majmu’ Al Fatawa Ibnu Taimiyah (19/194)]

اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي الناَّرِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قَالُوا: وَمَنْ هِيَ، ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ الْْيَوْمَ وَأَصْحاَبِي

“Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan dan Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya berada di neraka kecuali satu (golongan).” Mereka bertanya: “Siapa mereka, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Mereka berada pada apa yang aku dan sahabatku berada pada hari ini.” [HR Tirmidzi dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Al-Jami’ no. 5218]

Oleh karena itu, para ulama men-shahih-kan sebuah lafadz lain dari hadits ini yang diriwayatkan oleh Al Hakim yang sekaligus sebagai pendukung hadits di atas berkenaan dengan golongan yang selamat ini yang berbunyi: “Ajaran yang saat ini aku dan para sahabatku pegangi.”

Dalil lain dalam masalah ini adalah yang diriwayatkan oleh Al ‘Irbadh bin Sariyah Radhiallahu'anhu:

وَعَظَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْناَ: يَا رَسُولَ اللهِ كَأَنَّهاَ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِناَ. قَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفاَءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهاَ وَعَضُّوْا عَلَيْهاَ بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah memberi nasihat kepada kami dengan nasihat yang dalam hingga mengalir air mata kami dan bergetarlah hati kami.” Ada salah seorang berkata: “Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang hendak berpisah. Apa yang akan engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun (yang memerintah kalian) seorang budak dari Habasyah. Sesungguhnya orang-orang yang hidup diantara kalian sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, peganglah oleh kalian Sunnahku dan Sunnah para Khalifah yang mendapat petunjuk yang membimbing. Peganglah dia dengan gigi geraham kalian dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, shahih)

Dalam hadits ini ada penggabungan antara mengikuti sunnah nabawiyah dan sunnah para khalifah yang mendapat hidayah. [Seperti yang disyaratkan oleh Ibnu Qudamah Rahimahullah dalam Lum’atul I’tiqad nomor 6 – Al Badr.]

Kemudian renungkanlah bagaimana Nabi Shallallahu’alaihi wasallam menjadikan kalimat ini sebagai wasiat bagi umat sesudahnya agar mengetahui kebenaran dan kemurnian manhaj ini.

Renungkanlah juga bagaimana beliau Shallallahu’alaihi wasallam menginginkan umatnya ketika menghadapi berbagai perselisihan atau perseteruan dengan cara berpegang-teguh kepada manhaj ini. Biia kita mau merenungkan hal tersebut, niscaya akan tahu bahwa “pemahaman salafush shalih” adalah sesuatu yang menyelamatkan atau menghindarkan kita dari perpecahan.

Asy Syathibi rahimahullah berkata: “Maka beliau Shallallahu’alaihi wasallam menyejajarkan -seperti yang anda lihat sendiri- sunnah para khulafaur rasyidin dengan sunnah beliau sendiri, dan bahwa di antara syarat mengikuti sunnah beliau adalah dengan mengikuti sunnah para khulafaur rasyidin. Beliau menyebutkan bahwa perkara-perkara yang baru itu bertentangan dengan sunnah dan bukan bagian dari sunnah mereka sedikitpun. Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu waTa’ala sendiri telah ridha terhadap mereka dalam segala hal yang mereka lakukan; apakah mereka itu melakukan sesuatu semata-mata karena mengikuti sunnah Nabi, atau berdasarkan pemahaman mereka terhadap sunnah Nabi Shallallahu’alaihi wasallam baik secara rinci maupun secara global, yang barangkali orang lain (pada waktu itu) tidak memahaminya.” [Al I'tisham (1/104)]

Dan aku jadikan nas hadits-hadits di atas sebagai landasan dan dalil untuk memperjelas apa yang sedang saya bahas. Aku melihat Ibnu Abi ‘Izzi rahimahullah juga mengemukakan hal tersebut ketika menjelaskan ucapan Imam Ath Thahawi (dalam kitab Aqidah Thahawiyah): “Dan kita harus mengikuti Sunnah dan Al Jama’ah serta menjauhi penyimpangan, perselisihan, dan perpecahan.” [(hal. 382-383) cetakan Al Maktab Al Islami]

Penerapan:
Untuk menjelaskan pentingnya memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman para salafush shalih, saya bawakan kisah Imam Ahmad rahimahullah ketika beliau melalui hari-hari yang penuh ujian dan cobaan (di penjara). Saya mengutip kisah ini untuk memperjelas bahasan di atas.

Al Ajurri rahimahullah berkata: Al Muhtadi rahimahullah bercerita kepada saya. Beliau berkata: “Tidak seorang pun yang dapat menghentikan ayah saya yaitu Khalifah Al Watsiq kecuali seorang syaikh yang berasal dari Al Mashishah (Imam Ahmad) yang dipenjara beberapa waktu. Pada suatu hari ayah saya teringat kepada beliau, lalu memerintahkan agar beliau dihadapkan kepadanya. Didatangkanlah beliau dengan tangan yang masih terikat. Dan ketika beliau sudah sampai ke hadapan ayah saya maka beliau pun mengucapkan salam tetapi salam beliau tidak dijawab oleh ayah saya. Berkatalah  beliau: “Wahai Amirul Mukminin, anda tidak beradab dengan adab Allah Ta'ala begitu pula adab Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wasallam terhadap saya (padahal) Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

‘Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).’ (QS. An Nisa: 86)

Dan Nabi juga memerintahkan untuk menjawab salam!” “Wa’alaikassalaam”, jawab ayah saya langsung yang kemudian memerintahkan Ibnu Abi Duad untuk menanyai beliau.
Beliau pun (Imam Ahmad) berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sekarang ini saya dipenjara dan terikat; saya shalat di penjara dengan tayamum; saya tidak diberi air. Oleh karena itu, perintahkanlah untuk melepaskan ikatan saya ini dan menyediakan air buat saya agar saya bisa berwudhu’ dan shalat, kemudian setelah itu baru anda menanyaiku!”

Ayah saya pun memerintahkan agar ikatan beliau dilepaskan dan diambilkan air. Kemudian beliau pun berwudhu, lalu shalat. Setelah itu ayah saya berkata kepada Ibnu Abi Duad: “Tanyailah dial”, tapi beliau (Imam Ahmad) langsung berseru: “Sayalah yang (harus) bertanya kepadanya dan kepada Anda (wahai Khalifah), dan perintahkan dia untuk menjawab pertanyaan saya!”
Ayah saya pun berkata kepada beliau: “Baik, tanyailah dia!”
Beliau pun maju ke hadapan Ibnu Abi Duad, kemudian bertanya: “Beritahukanlah kepadaku tentang apa yang anda dakwahkan kepada orang banyak, apakah yang anda dakwahkan itu adalah juga yang didakwahkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam?” “Tidak,” jawab Ibnu Abi Duad.
“Ataukah yang didakwahkan oleh Abu Bakar Ash Shiddieq Radhiallahu'anhu?”  tanya beliau. “Tidak,” jawab Ibnu Abi Duad.
“Ataukah yang didakwahkan oleh Umar bin Khaththab Radhiallahu'anhu sesudah keduanya tiada?” tanya beliau kemudian. “Ataukah yang didakwahkan oleh Utsman bin Affan Radhiallahu'anhu?” tanya beliau seterusnya. “Tidak,’ jawab Ibnu Abi Duad. “Atau yang didakwahkan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu'anhu?” tanya beliau lebih lanjut. “Tidak,” jawab Ibnu Abi Duad.
Beliau pun (Imam Ahmad) berkata: “Sesuatu yang tidak didakwahkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, juga tidak oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, maupun Ali radhiallahu ta’aala ‘anhum lantas anda dakwahkan kepada banyak orang? Anda bisa mengatakan: ‘Mereka itu mengetahuinya (berilmu) atau tidak mengetahui.’ Jika anda beranggapan bahwa mereka itu mengetahuinya kemudian mereka diam, maka kami, anda dan semua kaum harus diam. Dan jika anda mengatakan: ‘Mereka itu tidak mengetahuinya dan sayalah yang mengetahuinya,’ maka alangkah bodohnya yaa luka’ ibna luka’ (wahai anda yang hina anak dari orang yang hina). Apakah masuk akal jika Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan keempat khalifah radhiallahu ta’aala ‘anhum tidak mengetahui sesuatu yang anda dan sahabat anda mengetahuinya?!”
Al Muhtadi berkata: “Maka saya melihat ayah saya bangkit berdiri kemudian masuk ke dalam sebuah Al hairaa (kurungan) [3]. la tertawa sambil menutup mulutnya dengan bajunya kemudian berkata: “Benar, kita tidak terlepas dari mengatakan: Mereka tidak mengetahuinya atau mereka justru mengetahuinya. Jika kita mengatakan: ‘Mereka mengetahuinya’ kemudian mereka diam, maka kita harus diam sebagaimana kaum yang lain juga harus diam. Dan jika kita beranggapan bahwa mereka tidak mengetahuinya sedang kita yang mengetahuinya maka sungguh celaka kita ini. Apakah masuk akal jika Nabi Shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiallaahu ta’aala ‘anhum tidak mengetahui sesuatu yang kita dan sahabat-sahabat kita mengetahuinya?!”
Ayah saya (Khalifah Al Watsiq) kemudian berkata: “Ya Ahmad!”
“Ya, saya datang!” jawabku.
“Bukan kamu yang aku maksud, tapi Ahmad bin Abi Duad,” sanggah ayah saya.
Kemudian ayah saya bangkit berdiri dan Ibnu Abi Duad mendatanginya. Ayahku berkata: “Berikan Syaikh ini (Imam Ahmad) nafkah kemudian keluarkan dia dari negeri kita ini.”

Dalam satu riwayat yang dicantumkan oleh Adz Dzahabi dalam kitab As Siyar disebutkan: “Dan jatuhlah kehormatan dan martabat Ibnu Abi Duad di mata ayah saya dan tidak ada lagi seorang pun yang ‘diuji’ oleh ayah saya setelah peristiwa ini.”
Berkata Al Muhtadi: “Maka aku bertaubat dikarenakan peristiwa ini dan saya pun mengira ayah saya juga rujuk sejak peristiwa ini." [4]

Aku katakan: “Perhatikanlah! Sesungguhnya bantahan Imam Ahmad terhadap perkara yang besar ini dengan mengembalikan kepada jalannya salafus shalih menghilangkan perselisihan atau perseteruan secara langsung dan menjadi sebab datangnya hidayah bagi Al Watsiq dan Al Muhtadi seperti yang disebutkan dalam kisah itu. Hal ini memberi petunjuk kepada kita bahwa perkara itu (mengembalikan perselisihan kepada pemahaman salafus shalih) merupakan hal yang mendasar dan mendalam. Ingatlah itu!”. Oleh karena itu para ‘ulama senantiasa mengulang-ulang perkataan Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas rahimahullah:

لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا

“Tidak akan baik akhir perkara umat ini kecuali dengan apa yang telah menjadi baik generasi awalnya." [5]

Peringatan. Apabila salafus shalih berselisih pendapat dalam suatu masalah maka satu-satunya jalan keluar yang harus ditempuh adalah bertahkim (mencari kepastian hukum atau dalil) kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Hal ini karena firman Allah Ta’ala:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa: 59)

Dan kata syaiun (sesuatu) yang terdapat pada ayat di atas adalah nakirah fii siyaaqisy-syarth (nakirah dalam konteks kalimat syarat) yang dalam tata bahasa Arab memiliki konsekuensi hukum: mencakup semua perbedaan, perselisihan, dan perseteruan baik yang berkaitan dengan ushuul {yang pokok dari ajaran agama ini; aqidah) maupun yang furu’ (cabang) sebagaimana yang disampaikan oleh Al Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithi. [Lihat: Adhwaa Al Bayan (333)]

Imam Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata: “Seandainya di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah tidak ada penjelasan mengenai hukum (jalan keluar) dari perbedaan atau perselisihan ini dan jika seandainya ada namun tidak cukup, maka tidak mungkin kita diperintahkan untuk kembali (atau mengembalikan perbedaan) kepada keduanya. Hal ini karena tidak mungkin dan tidak masuk akal jika Allah Subhanahu waTa’ala memerintahkan kita untuk kembali kepada sesuatu yang tidak memberikan jalan keluar dari perselisihan tersebut.” [I'lamul Muwaqqi'in (49)]

[Diambil dari kitab Sittu Duror min Ushuul Ahlil Atsar, Penulis Asy Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Penerbit Maktabah Al Ilmiyah, Judul Asli: Landasan ketiga – Mengikuti Al Kitab dan As Sunnah Sesuai Pemahaman Salafus Shalih]

_________
Footnote

[1] Madaarijus Saalikin (1/72-73). Tafsir ini shahih mauquf kepada Abi ‘Aliyah dan Al Hasan. Ibnu Hibban menyebutkan riwayat ini dalam Ats Tsiqat (6/229) secara muallaq, dan diriwayatkan secara bersambung oleh Ibnu Nashr dalam As Sunnah (27), Ibnu Jarir dalam tafsir-nya (183), Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya (1/21-22), dan Al Hakim (2/209). Al Hakim dan Adz Dzahabi menilai shahih riwayat ini dan lihat juga Al Imamah war Rad ‘ala Rafidlah karya Abu Nu’aim (73) dan yang semisal itu dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu
[2] Meriwayatkan yang semisalnya Ibnu ‘Abdil Baar dalam Jami’ Al Bayan (2/97), dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dari Ibnu ‘Umar (1/305)
[3] Demikianlah dalam sebagian cetakan, barangkali saja (Al Haira) dari (Al Hair) dalam Lisanul Arab karya Ibnu Mandzur dengan tahqiq M Syiiry (3/417): “Al Hair (dengan difathah) mirip dengan Al Hadzirah (pagar/kurungan) atau Al Hama’ (perlindungan). Sebagian orang Hadzali bersya’ir: “Wahai betapa banyak Hairaa yang mati, mencurahkan darinya embun-embun yang menetes.” Dia berkata: ‘Yang dimaksud Hairaa adalah taman yang dipagari dengan air (3/415). Pada sebagian cetakan ada yang membaca (Al Haiza) tetapi saya tidak mendapati maknanya,’ Wallahu A’lam.”
[4] Berkata Adz Dzahabi: “Kisah ini menarik sekali. Sekalipun pada sanadnya ada perawi yang majhul (tidak dikenal), tetapi riwayat ini memiliki syahid (penguat).” As Siyar (11/313).
[5] Ungkapan yang agung ini diambil Malik dari gurunya Wahb bin Kiisan, dari riwayat Al Jauhari dalam musnad Al Muwatha’ (38) dari jalan Isma’il bin Abi Uwais dan Ibnu Abdil Baar dalam At Tahmid (23/10) dari jalan Asyhab bin ‘Abdil Aziz, keduanya dari Malik berkata: “Pernah Wahb bin Kiisan duduk mengajari kami dan dia tidak berdiri sehingga dia berkata kepada kami: “Ketahuilah……….” Sanadnya Shahih

Kami adalah penuntut ilmu, seorang sunniy salafy

Ditulis dalam Demokrasi dan Pemilu, Penegakan Khilafah
KALENDER HIJRIAH

"Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Al Fatawa 4/149)

:: Pengunjung Blog Sunniy Salafy disarankan menggunakan Google Chrome [Klik disini] supaya daya jelajah anda lebih cepat ::

Radio Sunniy Salafy

Kategori
Permata Salaf

image