Mengangkat Penyakit Demokrasi Dari Tubuh Kaum Muslimin

Asy Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi

Setelah kita jelas bahwa kemuliaan umat Islam tergantung kepada kualitas ilmu dan amal. Kita juga telah tahu bahwa dalam kedua hal tersebut umat Islam berselisih dengan perselisihan yang banyak, apalagi ditambah dengan dimasukkannya ke dalam Islam apa-apa yang sebenarnya bukan dari Islam. Telah diketahui bahwa tidak ada jalan untuk terlepas dari kehinaan yang menimpa kita dari generasi ke generasi kecuali dengan kembali kepada agama yang benar, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرَعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Apabila kalian berjual beli dengan sistem 'inah (barang dengan dua harga-termasuk salah satu jenis riba) dan kalian sibuk dengan urusan peternakan serta urusan pertanian dan kalian meninggalkan jihad, niscaya Allah akan timpakan kerendahan kepada kalian yang tidak akan dicabut dari kalian sebelum kalian kembali kepada agama kalian.” [Riwayat Abu Dawud (3462) dan riwayat ini Shahih, Lihat Ash-Shahihah karya Al Albany nomor 11]

Wajib bagi kita untuk bersegera mewujudkan apa yang bisa mengangkat kehinaan itu dari kita. Dan jalan tersebut adalah dengan kembali kepada kemumian dua wahyu: Al Qur’an dan As sunnah sesuai dengan pemahaman tiga generasi pertama. Ketika penyimpangan (tahrif) telah mengotori kemurnian Islam, juga telah menodai keindahan Islam, maka usaha tashfiyah (membersihkan Islam dari segala kotoran yang masuk) dalam seluruh aspek ajarannya merupakan salah satu kewajiban yang paling utama. Ini karena kebenaran yang Allah Subhanahu wata'ala turunkan dengan mengutus Nabi-Nya Shallallahu’alaihi wasallam masih dijamin oleh Allah kelestariannya sampai di suatu hari di mana langit dan bumi digoncangkan kelak. Allah Ta'ala berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Adz Dzikra (Al Qur’an) dan Kami pulalah yang akan menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9)

Apabila tahrif (penyimpangan) telah menyebar di suatu kaum dan manhaj-manhaj mereka sangat minim dari usaha pembersihannya (tashfiyah), maka kebingunganlah yang akan menimpa mereka, sehingga mereka tidak bisa membedakan yang halal dan haram. Imam Muslim meriwayatkan dari ‘lyadh bin Hammar Al Majasyi’i bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam suatu khutbahnya bersabda:

“Ketahuilah, sesungguhnya Rabb-ku telah memerintahkan kepadaku untuk mengajarkan kepadamu apa-apa yang tidak kalian ketahui. Di antara apa-apa yang diajarkan kepadaku hari ini adalah: Setiap harta yang Aku berikan kepada seorang hamba-Ku adalah halal (baginya), dan sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-Ku dalam keadaan hanif (agama tauhid yang lurus) semuanya, lalu setan-setan datang kepada mereka dan menggelincirkan mereka dari agama mereka, mengharamkan apa-apa yang Aku halalkan kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan Aku dengan apa-apa yang Aku tidak menurunkan keterangan atasnya. Dan sesunguhnya Allah melihat kepada penduduk bumi, maka Allah murka kepada mereka: baik bangsa Arabnya maupun yang selainnya ('Ajam) kecuali segelintir dari Ahlul Kitab.” [Shahih Muslim no. 2865]

Tatkala kejahiliyahan telah tersebar sedemikian rupa sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam untuk membersihkan agama-Nya dari segala macam kotoran (penyimpangan) dan mendidik mereka dengan Islam yang diridhai Allah serta mendakwahkan Islam atas dasar kaidah “pemurnian dan pendidikan” (tashfiyah dan tarbiyah).

Dalam perkara Tauhid, seseorang tidak akan terdidik dengan benar sebelum tauhidnya bersih dari segala noda-noda syirik. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

“Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah: 256)

Dalam perkara syari’at, seseorang tidak akan terdidik secara benar kecuali jika ia telah bersih dari segala bid’ah. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam dalam setiap khutbah jum’atnya memerintahkan untuk berpegang dengan agama yang benar yang terdapat di dalam Al Qur’an dan As-sunnah dan memperingatkan dari apa-apa yang bisa mengaburkan serta mengotori kebersihannya yaitu bid’ah-bid’ah. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْناَهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُوْلُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتاَبُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika berkhutbah matanya memerah, suaranya meninggi, marahnya meningkat hingga seakan-akan beliau (sedang) mengomando satu pasukan tentara. Beliau berkata: ‘Perhatikan esok pagi dan petang kalian!’”
Beliau berkata pula: ‘Kemudian sesudah itu (amma ba’du). Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al Qur`an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Shallallahu 'alaihi wa sallam). Dan seburuk-buruk perkara ialah yang diada-adakan dan setiap bidah adalah sesat.” [Shahih Muslim no. 867]

Diulang-ulanginya kalimat ini menunjukkan betapa mendasamya permasalahan ini dan betapa besar perhatian beliau kepadanya. Kesimpulan dari kaidah ini bahwa kaidah tersebut merupakan pembersihan Islam dari segala kotoran yang masuk, kemudian mendidik manusia dengan dasar Islam yang murni ini, yakni membersihkan tauhid dari segala syirik, membersihkan sunnah dari bid’ah-bid’ah, membersihkan fiqh-fiqh dari pendapat-pendapat yang lemah, membersihkan akhlak dari perilaku umat-umat yang telah binasa dan dicela, membersihkan hadits-hadits Nabi yang shahih dari hadits-hadits yang palsu….Demikianlah. [1]

Penerapan Kaidah

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani pernah bertemu dengan salah satu pemimpin partai Islam dan Syaikh telah mengetahui secara detail sepak terjang mereka. Syaikh juga mendengar bahwa pendukung mereka jumlahnya sampai jutaan. Di antara pertanyaan-pertanyaan beliau yang ditujukan kepada pemimpin partai tersebut yang akan saya sampaikan di sini secara ringkas adalah pertanyaan Syaikh kepadanya: "Apakah semua pengikutmu mengetahui bahwasanya Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya?”
Setelah pemimpin partai tersebut bimbang antara mengiyakan dan menolak, dia mencoba melarikan ke persoalan lain dan menghindar dari jawaban, maka dia menjawab: “Kami harap demikian!”
Lalu Syaikh berkata: “Jangan kamu menjawab secara politis seperti itu!”
Maka diapun menjawab: “Tidak semua mengetahuinya.”
Syaikh berkata: “Cukup bagi saya jawabanmu itu!” [2]

Pertanyaan Syaikh ini lahir dari kaidah tashfiyah wa tarbiyah yang merupakan timbangan yang paling teliti dan adil dalam mengenal gerakan atau dakwah jihadiyah (yang berorientasi dalam masalah jihad) pada saat ini. Itu karena, barangsiapa yang tidak mampu memurnikan aqidah para pengikut atau simpatisannya serta mendidik mereka dengan aqidah yang benar dan selamat maka ia pun tidak akan mampu memurnikan buah akhlak dan hukum yang berlaku di suatu umat di mana ada di dalam umat tersebut orang-orang yang merupakan musuh atau lawan politiknya. Kalaulah memurnikan aqidah mereka saja dia tidak mampu, maka mana mungkin dia bisa mendidiknya dalam masalah lain!

Padahal Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’du: 11)

Kemudian jihad itu sendiri baru akan terlaksana dengan baik bila dilakukan oleh umat yang satu hati, karena keterpautan hati merupakan kunci diperolehnya kemenangan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ

“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan orang-orang yang mukmin dan yang mempersatukan hati-hati mereka (orang-orang yang beriman).” (QS. Al Anfaal: 62-63)

Manusia apabila hatinya tidak berkumpul dalam naungan aqidah Salafiyyah, niscaya akan bercerai-berai dan saling bermusuhan. Mereka tidak dapat dikumpulkan dan disatukan dengan "kotak-kotak pemilu".

Allah berfirman kepada sahabat-sahabat Nabi Shallallahu'alaihi wasallam:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ

“Maka jika mereka beriman sebagaimana iman kamu, sungguh mereka telah mendapat petunjuk dan jika mereka berpaling sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).” (QS. Al Baqarah: 137)

Bagaimanapun juga, kalau kekacauan politik dijadikan sebagai landasan berkumpul, maka urusan aqidahnya akan lunak dan akhir perkumpulannya menuju kepada perpecahan dan saling membid’ahkan, karena persatuan lahiriyah seperti itu hanya akan bertahan terbatas pada waktu itu saja. Apabila ikatan hati itu bercerai berai, saya tidak mendapatkan gambaran yang paling persis tentang mereka kecuali seperti yang telah difirmankan Allah Subhanahu wata'ala mengenai orang-orang Yahudi:

بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى

Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka (sebenarnya) berpecah belah.” (QS. Al Hasyr: 14)

Kesimpulannya bahwa Allah menjanjikan kepemimpinan yang baik bagi orang yang beribadah kepada-Nya saja dan tanpa dikotori oleh syirik.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia juga akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” (QS. An Nuur: 55)

Tidak boleh kita menolak nas dengan memberikan permisalan sejarah untuk mengingkarinya, karena seorang muslim harus patuh pada nas. Allah telah berfirman:

فَلا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الأمْثَالَ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Maka janganlah kamu mengadakan permisalan-permisalan (sekutu-sekutu) bagi Allah. Sesungguhnya Allah Mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 74)

Rahasia Syaikh Al Albani rahimahullah membatasi pertanyaannya pada masalah Istiwa’ (bersemayamnya Allah) adalah karena permasalahan ini yang membedakan jalan-jalan antara Ahlus Sunnah dan Ashaabul Ahwa (ahlu bid’ah).

Dan dikarenakan juga masalah tersebut merupakan aqidah yang mudah diketahui oleh masyarakat, baik yang hidup bersama-sama dengan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam membuka dunia dan menjadi pemimpin-pemimpin umat, sampai seorang budak wanita yang menggembalakan kambing-kambing tuannya. Dan pertanyaan Syaikh kepada tokoh partai politik -yang menganggap bahwa ia telah sempurna dalam agamanya- adalah merupakan langkah salafy (ulama salaf), sekalipun semua orang khalaf tidak menyukai dan menginginkannya.

Imam Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami Radhiallahu'anhu bahwa beliau berkata: “Saya mempunyai beberapa ekor kambing yang berada di antara Uhud dan Al Juwaniyah yang digembalakan oleh seorang jariyah (budak perempuan) saya. Suatu hari saya datang menengoknya. Ternyata seekor serigala telah membawa lari seekor kambing saya. Saya ini hanyalah seorang manusia biasa, sehingga saya kesal dan memukulnya. Saya pun mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi wasallam dan menceritakan kejadian ini kepada beliau Shallallahu’alaihi wasallam dan beliau sangat menyesalkan tindakan saya tersebut.
Saya berkata: “Ya Rasululiah, apakah saya merdekakan saja?”
“Panggillah dia,” kata Rasululiah Shallallahu’alaihi wasallam. Saya lalu memanggilnya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam kemudian bertanya kepadanya: “Di manakah Allah?”
“Di langit,” jawab budak perempuan saya tersebut.
“Siapakah saya?" Ttanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam kemudian.
“Anda adalah Rasulullah (Rasul Allah),” jawabnya.
Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,

اِعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

“Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia adalah seorang Mukminah (orang yang beriman)!” perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam kepadaku” [Riwayat Ahmad (5/447) dan Muslim (537)]

Perhatikanlah, -semoga Allah merahmatimu- itulah gambaran masyarakat yang telah dibina oleh Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Begitu sempurna aqidah mereka sampai para penggembala kambing yang jarang bertemu dengan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam seperti budak ini sekalipun! Lalu, perhatikanlah masyarakat Islam pada masa sekarang ini yang berambisi menaiki kursi kepemimpinan!

Jelas, kamu mendapatkan perbedaan yang jauh antara jihad mereka dengan jihad masyarakat di zaman Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Apakah dakwah-dakwah yang menyerukan jihad itu bisa mengumpulkan pengikut yang kualitasnya melebihi seorang budak yang hina yang ditanya, “Di mana Allah?” Ataukah pertanyaan itu malah akan menjadi bahan tertawaan karena dianggap aneh oleh kelompok-kelompok tersebut di zaman pengaruh kemoderenan sekarang ini dan menjadi bahan ejekan bagi para pengamat-pengamat jama'ah? Atau pahamkah sebenarnya mereka akan pentingnya berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan sehingga mereka meremehkan pertanyaan: “Di mana Allah?!”

Kapankah Allah Subhanahu waTa’ala akan mengizinkan mereka terbebas dari perbudakan yang selama ini membelenggu mereka dalam kehinaan, seperti terbebasnya budak perempuan Mu’awiyah setelah ia mengetahui dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berada?!

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

"Dan Allah berkuasa atas segala urusan-Nya akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21)

Pertanyaan di atas hendak mengungkapkan hakikat dakwah yang sebenarnya sekaligus menjelaskan sampai dimana ketulusan atau keikhlasan niat seseorang, yang mementingkan dan memperhatikan pelaksanaan hukum Allah Subhanahu waTa’ala (syariat Islam) dan masalah istiwaa’ yang merupakan hak Allah Subhanahu waTa’ala. Akan tetapi ada perbedaan antara yang pertama dengan yang kedua. Yang pertama, dalam pelaksanaan hukum-hukum Allah Subhanahu waTa’ala seorang hamba bisa merasakan manfaatnya, berupa pengembalian hak yang merupakan milik seseorang dari orang yang telah menzaliminya misalnya, dan kehidupan yang lapang yang memang telah dijanjikan dengan firman Allah Ta’ala:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ

“jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’raaf: 96)

Jadi, bagian hamba merupakan bagian dari hak Allah juga. (Artinya kalau hak Allah untuk diibadahi dipenuhi maka Allah akan berikan apa yang menjadi bagian hamba berupa penghidupan yang lebih baik- pent.)

Yang kedua, tentang istiwaa’ Allah. Perkara ini semata-mata merupakan hak Allah dan tidak ada sedikitpun yang merupakan bagian dari hak manusia.

Renungkanlah perbedaan ini! Kamu akan mendapati kemegahan dan keagungan sikap ikhlas yang mengidam-idamkan keharusan berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan, tanpa mengesampingkan hukum-hukum yang khusus berkaitan dengan sifat-sifat Allah atau mengakhirkannya atau menjadikannya di pinggiran dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting dan mendesak. Padahal pengetahuan tentang perkara tersebut termasuk seutama-utama ilmu yang diturunkan oleh Allah Ta'ala, karena kemuliaan suatu ilmu itu ditentukan oleh kemuliaan dari apa yang dibahas oleh ilmu tersebut. Hal itu membuktikan betapa pentingnya kembali kepada dakwah yang dilakukan oleh para nabi 'alaihimush shalaatu was salaam menyeru kaum mereka dengan berkata:

يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

"Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagi kalian selain-Nya…."

Mereka (para nabi) mendahulukan perhatian akan syirkul qubuur (syirik yang ditimbulkan oleh kubur) daripada syirkul qushuur (syirik dalam hal berhukum kepada selain Allah). Itulah sebabnya perkara imamah (kepemimpinan atau pemerintahan) bukan merupakan bagian dari rukun iman yang ada. Renungkan dan pahamilah benar-benar masalah ini! [3]

Akhirnya, saya memohon kepada Alah Ta’ala agar melapangkan dada-dada kaum muslimin semuanya dan da’i-da’i mereka khususnya untuk mengikuti atsar (jejak) pendahulu mereka yang shalih dalam beramal dengan enam landasan ini.

Sesungguhnya tidak ada cara untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat melainkan dengan mengikuti jejak mereka. Tidak ada jalan lain selainnya, karena keenam landasan di atas adalah pondasi-pondasi seseorang yang hendak membangun agamanya agar menjadi kuat dan kokoh.

Ibarat pohon bila akarnya kuat maka batang dan durinya akan tertopang dengan baik. Semua itu merupakan taufiq dari Allah untuk mereka, tatkala Allah melihat hati-hati mereka terpatri dengan kejujuran dan keikhlasan. Dengan pondasi-pondasi tersebut mereka menjaga agama ini tetap bersih dan murni seakan-akan diturunkan pada hari ini. Benarlah perkataan Imam Daarul Hijrah Malik bin Anas rahimahullah yang berkata:

لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا

“Tidak akan bisa baik urusan umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi awalnya.”

Dan benarlah apa yang dikatakan oleh Yang Maha Benar tatkala berfirman:

إِنْ يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِمَّا أُخِذَ مِنْكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ

“Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil kepadamu dan Dia akan mengampunimu.” (QS. l Anfaal: 70)

Segala Puji bagi Allah diawal maupun diakhir.

[Diambil dari kitab Sittu Duror min Ushuul Ahlil Atsar, Penulis Asy Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Penerbit Maktabah Al Ilmiyah, Judul Asli: Landasan keenam – Tashfiyah dan Tarbiyah]

_________
Footnote

[1] Barangsiapa yang menginginkan penjabaran pembahasan ini, silakan lihat kepada Kitab At Tasfiyah wa Tarbiyah karya saudaraku Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid yang telah dicetak pada tahun 1415 Hijriah
[2] Kasetnya telah direkam dalam Silsilatul Hudaa wa An Nuur (nomor 475/1) dan (476/1)
[3] Ibnu Taimiyah menjelaskan masalah ini dengan sangat bagus dalam Kitab Minhajus Sunnah (1/106-110) dan dalam Kitab Oitaalul Wulaati min Ajli Dunya wal Tibaasuhu bil Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Mungkar (5/152). Penjelasan yang semisal itu terdapat dalam Al ‘Uquudud Durriiyatu karya Ibnu ‘Abdil Hadi (hal.147).

Kami adalah penuntut ilmu, seorang sunniy salafy

Ditulis dalam Demokrasi dan Pemilu, Firqah Hizbiyah, Penegakan Khilafah
KALENDER HIJRIAH

"Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Al Fatawa 4/149)

:: Pengunjung Blog Sunniy Salafy disarankan menggunakan Google Chrome [Klik disini] supaya daya jelajah anda lebih cepat ::

Radio Sunniy Salafy

Kategori
Permata Salaf

image