Tafsir al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu Bukan Tafsir Sufi

al Ustadz Abu Karimah Askari

al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu merupakan salah seorang tokoh Ahlus Sunnah yang dikenal memiliki keilmuan agama di berbagai bidang, termasuk pula dalam ilmu tafsir. Beliau merupakan salah satu rujukan pada zamannya, yang menjadi tempat bertanya kaum muslimin dalam penafsiran al Qur’an.

Ahmad bin Muhammad asy Syafi’i berkata, "Aku mendengar ayahku dan pamanku berkata: Adalah Sufyan bin Uyainah Rahimahullahu, jika ada seseorang datang kepadanya bertanya tentang tafsir dan fatwa, maka beliau menoleh kepada al Imam asy Syafi’i dan berkata: ‘Bertanyalah kalian kepada orang ini’.” (Siyar A’lam an Nubala’, adz Dzahabi, 10/17)

Yunus bin Abdil A’la berkata, "Dahulu aku duduk bersama para ahli tafsir dan berdialog dengan mereka. Lalu jika al Imam asy Syafi’i mulai menafsirkan, seakan-akan beliau menyaksikan ayat itu diturunkan.” (Tarikh Madinah Dimasyq, 51/362)

Abu Hassan az Ziyadi berkata, "Aku dahulu bertanya kepada asy Syafi’i tentang beberapa makna dalam al Qur’an. Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mampu dari beliau dalam menyebutkan makna-makna al Qur’an dan ungkapan yang disertai maknanya, serta menguatkannya dengan syair atau bahasa Arab.” (Tarikh Dimasyq, 51/362)

al Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullahu berkata, "Dahulu nafas para ahli hadits ada di tangan Abu Hanifah hingga kami melihat asy Syafi’i. Beliau adalah manusia yang paling mengerti tentang Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Beliau tidak merasa cukup dengan sedikit menuntut ilmu hadits.” (Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim, 9/99)

Muhammad bin Fudhail al Bazzar menyampaikan dari ayahnya bahwa dia bertanya kepada al Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullahu tatkala melihat al Imam Ahmad duduk dengan seorang pemuda, "Wahai Abu Abdillah, engkau meninggalkan majelis Ibnu Uyainah, padahal dia memiliki riwayat Az Zuhri, ‘Amr bin Dinar, Ziyad bin ‘Alaqah dan kalangan tabi’in lainnya, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui tentang (keutamaan) mereka?”Jawab al Imam Ahmad, "Diam kamu. Jika engkau tertinggal mendapatkan hadits dengan sanad yang ‘ali (tinggi), engkau bisa mendapatkannya dengan sanad yang nazil (rendah). Itu tidak membahayakan agamamu, tidak pula akal dan pemahamanmu. Namun jika engkau tertinggal oleh pemikiran pemuda ini, saya khawatir engkau tidak lagi menemukannya hingga hari kiamat! Aku tidak pernah melihat orang yang paling mengerti tentang Kitabullah dari pemuda Quraisy ini.”
Aku bertanya, "Siapa dia?” Beliau menjawab, "Muhammad bin Idris asy Syafi’i.” (Hilyatul Auliya’, 9/100)

Ini pula yang dikatakan oleh al Mubarrid, "Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati al Imam asy Syafi’i, karena sesungguhnya beliau orang yang paling ahli dalam bidang syair, sastra, dan paling mengerti tentang al Qur’an.” (Tawali at Ta’sis, Ibnu Hajar hal. 104)

Kedudukan al Qur’an menurut al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu

al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu menjelaskan bahwa al Qur’an merupakan pedoman, petunjuk, dan pembimbing. Barangsiapa senantiasa menggali ilmunya maka dia akan memiliki kedudukan yang tinggi, sesuai kadar ilmu al Qur’an yang dimilikinya. al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu berkata, "Semua yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya merupakan rahmat dan hujjah. Berilmu bagi orang yang mengetahuinya dan jahil bagi yang tidak mengetahuinya. Tidak berilmu orang yang jahil terhadapnya, dan tidak jahil orang yang mengilmuinya. Sedangkan manusia bertingkat-tingkat dalam keilmuan. Kedudukan mereka dalam ilmu sesuai tingkatan mereka dalam mengilmuinya (al Qur’an).” (Ar-Risalah, al Imam asy Syafi’i hal. 19)

Beliau Rahimahullahu juga menjelaskan bahwa kebahagiaan serta kemenangan hidup di dunia dan akhirat hanyalah diperoleh dengan memahami hukum-hukum yang telah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya. Beliau Rahimahullahu berkata, "Barangsiapa yang menjangkau ilmu tentang hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya, baik secara nash maupun secara istinbath (mengambil kesimpulan dari suatu dalil), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufiq kepadanya untuk berkata serta mengamalkan apa yang telah diilmuinya, maka dia akan meraih kemenangan dalam agama dan dunianya. Akan hilang darinya berbagai keraguan. Cahaya hikmah akan senantiasa menerangi hatinya dan dia akan mendapatkan kepemimpinan di dalam agama.” (ar Risalah hal. 19)

Perbedaaan tafsir al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu dengan tafsir kelompok Shufiyah

Sebagian orang menyangka bahwa al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu sejalan dengan pemikiran Shufiyah. Hal ini disebabkan karena banyaknya ahli tasawwuf yang menisbahkan dirinya sebagai penganut madzhab al Imam asy Syafi’i serta mengikuti ajaran-ajaran beliau. Padahal tidak demikian keadaannya. Bahkan prinsip-prinsip yang diajarkan al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu senantiasa sejalan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah secara umum. Khususnya dalam bidang ilmu tafsir, al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu sangat jauh dari berbagai prinsip Shufiyah dalam penafsiran al Qur’an.

Dalam ushul tafsir, al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu menegaskan bahwa dalam memahami al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat-Nya dengan beberapa cara:

– Ada yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan secara nash, seperti beberapa perkara wajib, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan atas mereka shalat, menunaikan zakat, berhaji, berpuasa, dan mengharamkan atas mereka perbuatan keji, yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan zina, minum khamr, memakan bangkai, darah, dan daging babi, serta menjelaskan kepada mereka kewajiban berwudhu dan yang lainnya.

– Ada pula yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan kewajiban sesuatu melalui kitab-Nya dan menjelaskan caranya melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti bilangan shalat, zakat, dan waktu-waktunya, serta yang lainnya.

– Ada yang ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa sesuatu yang tidak disebutkan nash-nya dalam al Qur’an, di mana Allah Subhanahu wata’ala telah mewajibkan dalam kitab-Nya untuk taat kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menetapkan hukumnya. Maka barangsiapa yang menerima hukum dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia menerima ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

– Adapula yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berijtihad dalam menemukan jawabannya dan menguji ketaatan hamba tersebut dengan berijtihad, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji mereka dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atas mereka. (Ar-Risalah, al Imam asy Syafi’i, hal. 21-22)

Prinsip-prinsip yang disebutkan oleh al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu ini sangat bertentangan dengan apa yang menjadi prinsip kaum Shufiyah. Di kalangan Shufiyah, ilmu tidak diambil dengan cara mempelajari al Kitab dan as Sunnah, karena mereka menganggap bahwa mengambil ilmu secara langsung dari keduanya adalah kekeliruan.

Seperti apa yang diucapkan oleh Abul Fadhl al Ahmadi, "Jangan kalian memastikan kebenaran dari apa yang kalian ketahui dari al Kitab dan as Sunnah, meskipun secara hakiki itu adalah kebenaran.” (al Mashadir al ’Ammah lit Talaqqi ‘inda ash Shufiyah, karya Shadiq Salim, hal. 186)

Namun salah satu cara mereka dalam mengambil ilmu adalah dengan kasyaf shufi. Yaitu kemampuan untuk dapat melihat berbagai hal dengan cara menembus alam ghaib, sehingga seakan-akan dia melihatnya dengan mata kepalanya. Ilmu kasyaf ini –menurut mereka– jauh lebih afdhal dari sekadar mempelajari al Kitab dan as Sunnah. al Ghazali menukil dari al Junaid bahwa dia berkata, "Aku lebih suka bagi seorang murid pemula untuk tidak menyibukkan hatinya dengan tiga hal: mencari nafkah, menuntut ilmu hadits, dan menikah. Aku lebih suka bagi seorang shufi untuk tidak menulis dan membaca, karena cara itu lebih fokus untuk mencapai harapannya.” (Ihya’ Ulumiddin, al Ghazali, 4/239)

ad Darani berkata, "Jika seseorang menuntut ilmu hadits, atau menikah, atau mencari nafkah, maka sungguh dia telah condong kepada dunia.” (Ihya’ Ulumiddin, 1/61)

Oleh karenanya, di kalangan Shufiyah, orang yang paling bodoh sekalipun bisa menjadi seorang syaikh yang dihormati. asy Sya’rani tatkala menyebut salah seorang gurunya berkata, "Di antara mereka adalah syaikh dan ustadz saya: Sidi Ali al Khawwash al Baralsi –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai dan merahmatinya–, beliau adalah seorang yang ummi, tidak bisa menulis dan membaca. Dia berbicara tentang makna-makna al Qur’an al Karim dan as Sunnah yang mulia, dengan perkataan yang sangat berharga yang membuat para ulama tercengang [1]….” (Thabaqat asy Sya’rani, 2/150, al Mashadir al ’Ammah hal. 184)

Subhanallah! Kaum Shufiyah berusaha memalingkan kaum muslimin untuk mempelajari agamanya. Padahal seorang muslim tidak mungkin dapat memahami agamanya kecuali dengan cara belajar dan mendalami al Qur’an dan as Sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَالْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ وَمَنْ يَتَحَرَّ الْخَيْرَ يُعْطه وَمَنْ يَتَوَقَّ الشَّرَ يُوقه

“Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan belajar dan kesabaran diperoleh dengan belajar sabar. Barangsiapa yang mencari kebaikan maka ia akan diberi dan barangsiapa yang menjaga diri dari kejahatan maka ia akan dipelihara.” (HR. al Khathib dalam Tarikh-nya 9/127, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, karya al Albani, 1/342)

al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu berkata:

لَقَدْ ضَلَّ مَنْ تَرَكَ حَدِيثَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِقَوْلِ مَنْ بَعَدَهُ

“Sungguh telah sesat orang yang meninggalkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ucapan orang setelahnya.” (al Faqih wal Mutafaqqih, al Khathib al Baghdadi, 1/386)

Perbedaan yang sangat mencolok antara al Imam asy Syafi’i dengan kaum Shufiyah inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kaum Shufiyah dalam menafsirkan ayat tidak bersandar kepada kaidah-kaidah yang diterapkan para ulama dalam menafsirkan, juga tidak bersandar kepada kaidah-kaidah ilmu musthalah hadits. Mereka selalu bersandar kepada apa yang disebut dengan ilmu kasyaf tersebut, ilmu ladunni [2], mimpi-mimpi, atau perasaan, yang dengannya mereka mengaku –padahal mereka para pendusta– bahwa mereka mendapatkan penafsiran langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara.

asy Sya’rani berkata tentang salah seorang syaikh sufi asal Mesir yang bernama Ahmad az Zawawi, "Dia (az Zawawi) pernah berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya cara kami adalah memperbanyak shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau duduk bersama kami dalam keadaan sadar (bukan mimpi). Kami menemaninya sama seperti para sahabat. Kami juga bertanya kepadanya tentang urusan agama kami dan bertanya tentang hadits-hadits yang dilemahkan oleh para hafizh. Lalu kami mengamalkan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam padanya’.” (Lawaqih al Anwar al Qudsiyyah, lembaran 157, al Mashadir al ’Ammah, hal. 236)

Dengan pengakuan dusta bahwa mereka dapat bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sadar, mereka pun menafsirkan beberapa ayat al Qur’an dengan cara “mendengar langsung” dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam al Ibriz bahwa al Lamthi bertanya kepada syaikhnya yang bernama ad Dabbagh tentang makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (ar Ra’d: 39)

Maka Ad-Dabbagh menjawab, "Aku tidak menafsirkan ayat ini kepada kalian kecuali dengan apa yang aku dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemarin beliau menyebutkan tafsirnya kepada kami …. –lalu ia menyebutkan tafsirannya.” (al Ibriz hal. 150, al Mashadir al ’Ammah hal. 237)

Demikian pula ash Shayadi mengaku bahwa dia telah dibai’at di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa membaca surah al Ikhlas jika masuk rumah. (Bawariqul Haqa’iq, hal. 307, al Mashadir al ’Ammah hal. 238)

ash Shayadi ar Rifa’i juga mengaku bahwa Khadhir menafsirkan kepadanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

“Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (Yasin: 68)

Khadhir berkata kepadanya, "Penafsiran ayat ini adalah, barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya dan Kami tinggikan kedudukannya di sisi Kami, Kami jadikan dia di kalangan makhluk terbalik (amalannya).” (Bawariqul Haqaiq, hal. 147)

Adapun dalam periwayatan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, as Sahrawardi mengaku dalam kitabnya as Sirr al Maktum bahwa Khadhir telah memberitakan kepadanya 300 hadits yang dia dengar secara langsung dari lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Kasyful Khudr, lembaran 8, al Mashadir al ’Ammah hal. 261)

Dari sebagian kecil apa yang telah kami paparkan ini, nampaklah bahwa Thariqat Shufiyah memiliki ajaran-ajaran yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang telah diajarkan oleh para ulamanya, termasuk di antara mereka adalah al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu.

Oleh karenanya, penisbahan sebagian kaum Shufi kepada al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu, baik dalam masalah fiqih maupun akidah, adalah penisbahan yang al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu sendiri berlepas diri dari mereka.

Wallahul muwaffiq.

[Dikutip dari Majalah Asy Syari’ah No.55/V/1430 H/2009, hal 26-29]

____________
Footnote:

[1] Seperti itu pula sufi masa kini (Jamaah Tabligh), ed.
[2] Setali tiga uang dengan ilmu kasyaf, yakni “ilmu” yang didapat “langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala” tanpa proses belajar. Menurut keyakinan sufi, “ilmu” ini tertanam dalam hati manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan), inspirasi, dan sejenisnya. Dengan mujahadah, “pembersihan dan pensucian hati” melalui amalan atau zikir tertentu akan terpancar “nur” dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia alam ghaib. Diyakini, mereka bahkan bisa “berkomunikasi langsung” dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, para rasul, dan ruh-ruh lainnya, termasuk Nabi Khidhir. Menurut kibulan orang-orang sufi, ilmu laduni hanya bisa diraih oleh orang-orang yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat (pengikut sufi menyebutnya dengan wali, habib, gus, dan sejenisnya), meski lahiriahnya mereka adalah orang-orang yang justru menyelisihi syariat. Berkedok ilmu laduni ini, orang-orang sufi, selain melakukan pembodohan terhadap umat, juga berupaya menjauhkan umat untuk mempelajari ilmu naqli (al Qur’an dan as Sunnah), bahkan berujung dengan menafikannya.

Kami adalah penuntut ilmu, seorang sunniy salafy

Ditulis dalam Firqah Hizbiyah, shufi, sufi, Sufisme Tasawuf
KALENDER HIJRIAH

"Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Al Fatawa 4/149)

:: Pengunjung Blog Sunniy Salafy disarankan menggunakan Google Chrome [Klik disini] supaya daya jelajah anda lebih cepat ::

Radio Sunniy Salafy

Kategori
Permata Salaf

image