Di Antara Tanda-Tanda Kebahagiaan Pada Seorang Hamba

Berikut adalah catatan taklim kami yang singkat ketika menghadiri kajian rutin bersama Al Ustadz Abu Ubaidah Abdurrahman Kuningan ketika membawakan bab Al Ilmu Yuritsu Tawadhu dari kitab Al Fawaid karya Ibnul Qayyim Al Jauziyah. Semoga bermanfaat.

Al Ustadz Abu Ubaidah Abdurrahman Kuningan

Kebahagiaan dan kebinasaan seorang hamba adalah sesuatu yg sudah Allah Subhanahu wata’ala tetapkan. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ قَدَّرَ مَقَادِيرَ الْخَلْقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Sesungguhnya Allah telah menentukan seluruh takdir makhluk lima ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653 dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash Radhiallahu‘anhuma)

Dan nabi Shallallahu’alaihi wasalam bersabda,

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan : "Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan sengsara atau kebahagiaannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Di antara ciri-ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan

Dan tentunya kebahagaiaan yang utama, yang mulia, yang hakiki di sisi Allah Subhanahu wata’ala adalah surga. Allah Ta’ala firmankan

وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ إِلا مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ

“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (Hud: 108)

Dan dikatakan oleh para ulama bahwasanya kebahagiaan adalah pertolongan Allah Subhanahu wata’ala kepada seorang hamba untuk mendapatkan kebajikan. Allah Ta’ala berikan ia ilham dan taufik hingga ia meraih kebaikan demi kebaikan.

Disebutkan oleh Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah, di antara ciri-ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan adalah:

1. Bahwasanya seorang hamba tatkala bertambah ilmunya maka bertambahlah tawadhu’ (rendah hatinya) dan bertambah pula kasih sayangnya.

Ketika seorang hamba diberi kebaikan demi kebaikan oleh Allah Ta’ala berupa ilmu, sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah inginkan untuk mendapatkan kebaikan, Allah faqihkan di dalam Agama.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 69, 2884, 6768 dan Muslim no. 1718, 1721 dari shahabat Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiallahu ‘anhuma)

Allah Ta’ala beri dia kebaikan dan kemudahan dalam mencari ilmu dan mengamalkannya, maka semakin hari semakin bertambah ilmunya dan hapalannya dari Al Quran dan hapalan hadits semakin bertambah, maka tatkala itulah bertambah pula tawadhu’nya.

Sebagaimana ibarat padi semakin berisi semakin merendah, tidak seperti bunga yang semakin merekah justru semakin mendongak ke atas dan akhirnya tatkala tua ia menjadi layu ke bawah.

Maka ketika seseorang sudah memiliki ilmu, ia dituntut untuk menambah rendah hati dihadapan kaum muslimin dan kasih sayangnya di hadapan kaum Muslimin. Karena merupakan perkara yang Allah Subhanahu wata’ala perintahkan kepada Rasul-Nya untuk membersihkan umatnya dari kotoran-kotoran yang akan merusak hati-hati mereka, dibersihkan dengan ilmu.

Allah Ta’ala berfirman,

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُواتَعْلَمُونَ

"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (Al Baqarah: 151)

Berkata Syaikh Nashir As Sa’di, "Allah Subhanahu wata’ala mensucikan diri-diri kita dan jiwa-jiwa kita dengan mendidik seseorang di atas akhlak yang mulia dengan ilmu, dan dengan ilmu itu pula Allah Subhanahu wata’ala membersihkan dari akhlak-akhlak yang tercela"

Lebih lanjut Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa bentuk-bentuk ilmu yang mensucikan jiwa-jiwa kita adalah, "Dari syirik menuju tauhid, dari riya’ menuju ikhlash, dari khianat menuju amanah, dari kedustaan menuju kejujuran, dan dari kesombongan menjadi orang-orang yang tawadhu’.

Berkata Syaikh Jamil Zainu, "Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuat hati pemiliknya takut kepada Allah Azza wajalla, yang membuat pemiliknya beramal shalih, dan yang akan memperbagus akhlak pemiliknya."

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam membimbing kita untuk banyak berlindung dari ilmu yg tidak bermanfaat, sebagaimana doa yang diajarkan nabi Shallalahu’alaihi wasallam, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat."

Demikian pula semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambahlah kasih sayangnya. Bukannya semakin bertambah ilmu justru semakin sulit bergaul, semakin kasar, membuat benteng dengan orang lain dan menghinakan orang lain, bukan seperti itu.

2. Tatkala bertambah amalannya, bertambahlah rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wata’ala dan semakin berhati-hati.

Setiap hari semakin bertambah amalan ketaatan, baik amalan yang wajib maupun yang sunnah. Ibadah yang wajib senantiasa ia kerjakan dan ia menambah amalannya dengan ibadah sunnah sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi,

ومايزال عبدى يتقرّب إلىّ بالنّوافل حتّى أحبّه فإذاأحببته كنت سمعه الّذى يسمع به وبصره الّذى يبصربه ويده الّتى يبطش بهاورجله الّتى يمشى بهاولءن سألنى لأعطينّه، ولءن استعاذنى لأعيذنّه

"Dan tidak henti-hentinya mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku merupakan pendengaran yang ia gunakan, Aku merupakan penglihatan yang ia gunakan, Aku merupakan tangan yang ia gunakan untuk menyerang dan Aku merupakan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya aku melindunginya." (Shahih Bukhari no 6502 dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu)

Maka ketika bertambah amalan-amalannya ini justru ia semakin khawatir amalan ini tidak diterima Allah Ta’ala maka ia terus menambah amalannya dan berhati-hati. Dan terus meminta tolong kepada Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana doa,

اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk menyebut namaMu, syukur kepadaMu dan ibadah yang baik untukMu.” (HR. Abu Dawud 2/86 dan An-Nasai 3/53. Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Abi Dawud, 1/284)

Lihatlah qudwah kita Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ketika Aisyah Radhiallahu’anha mengabarkan, Qiyamullail sampai bengkak kakinya. Kata ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha, “Ya Rasulullah, Ya Nabiyyalah, bukankah engkau telah diampuni oleh Allah segala dosa-dosamu yang telah lalu maupun yang akan datang?" Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab, "Tidakkah boleh aku menjadi seorang hamba yang penuh syukur kepada Allah atas kenikmatan yang diberikan kepadaku?"

Ini menunjukkan takutnya beliau akan amalan-amalannya, demikian pula shahabat nabi ketika nabi Shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan 10 shahabat yang dijamin masuk surga, namun Umar bin Khathab masih datang kepada Hudzaifah ibnul Yaman, "Apakah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mencantumkan namaku dalam deretan orang-orang munafiq?" Inilah rasa takut beliau padahal nabi Shallallahu’alaihi wasallam telah mengabarkan kedudukan beliau dan telah dibangunkan istana beliau yang megah di surga.

Tidak ada kebanggaan para shahabat dan Salafus Shalih ketika bertambah amalannya justru khawatir dan semakin khwatir. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّىمَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُعَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا

"Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka." (Riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu)

3. Tatkala bertambah umurnya, maka semakin berkurang rasa tamaknya terhadap dunia.

Dalam sebuah hadits disebutkan,

عَنْ أَبِي الْعَبَّاس سَهْل بِنْ سَعْد السَّاعِدِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ : ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ

"Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi Radhiallahu’anhu dia berkata: Seseorang mendatangi Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata : Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku, maka beliau bersabda: Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia." (Hadits hasan riwayat Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad hasan)

Pengertian zuhud adalah meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat untuk akhiratnya. Dan inilah salah satu sifat orang-orang mukmin tidak terjerumus dalam perkara-perkara yang tidak ada manfaatnya.

Sehingga Allah kabarkan dari sifat orang-orang mukmin di antaranya,

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

"Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna" (Al Mukminun: 3)

Dan Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا   

"Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (Al Furqaan: 72)

Berbuat zuhud di sisi manusia artinya tidak mengharapkan apa-apa yang dimiliki manusia. Ia ikhlash dalam memberi tanpa mengharapkan imbalan dari apa yang telah ia korbankan, sehingga hal ini menmbulkan kecintaan manusia kepadanya.

Demikian juga Ar Rasul Shallallahu’alaihi wasallam dalam sebuah haditsnya tentang orang yang semakin panjang umurnya justru semakin berkurang rasa tamaknya terhadap dunia,

عن أبى صفوان عبداللّه بن بسرالأسلمىّ رضى اللّه عنه قال : قال رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم خيرالنّاس من طال عمره وحسن عمله

Dari Abu Shafwan Abdullah bin Busrin Al-Aslamiy Radhiallahu’anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya serta baik pula amal perbuatannya." (HR. Turmudzi)

Agar kita mampu menundukkan angan-angan ketika kita diberikan umur yang mulia ini, maka ketahuilah bahwa jiwa kita ini akan menjadi cinta bila ia dididik untuk mencintai sesuatu. Dan sebaliknya jika ia dididik untuk mencintai perkara-perkara yang cukup, maka iapun akan merasa cukup.

4. Tatkala bertambah hartanya, maka semakin bertambah pula kedermawanannya dan kemauannya untuk membantu sesama

Lihatlah contoh Abu Bakar Ash Shiddiq ketika Rasul membawakan keutamaan infak maka ia tanpa berpikir panjang untuk menginfakkan hartanya.

Demikian pula Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Jarir bin ‘Abdillah ia berkata: "Pernah kami berada di sisi Rasulullah pada awal siang, ia berkata: "Maka datanglah suatu kaum yang tak beralas kaki, tidak mengenakan pakaian dan hanya mengenakan mantel, terhunus pedangnya, mayoritas mereka dari Bani Mudhor bahkan keseluruhannya. Memerahlah wajah Rasulullah ketika melihat keadaan mereka yang sangat mengenaskan itu akibat kemiskinan.
Lalu beliau masuk, kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan dan iqomah, lalu shalat kemudian berkhuthbah (dengan khuthbatul hajat).
Setelah itu seseorang bersedekah dengan dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, gandumnya dan kurmanya. (Sampai ia berkata): "Walaupun dengan separuh buah kurma."
Ia berkata: "Kemudian datang seorang lelaki dari Anshor dengan bungkusan, hingga tangannya hampir tidak mampu menanggungnya."
Ia berkata: "Kemudian manusia mengikutinya, hingga aku melihat dua tumpukan makanan dan pakaian dan aku perhatikan wajah Rasulullah berseri-seri seakan-akan sepotong emas yang berkilau.
Bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya)

Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia pun turut memberi dorongan kepada para wanita untuk bersedekah, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Ia bertutur:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا، ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ، فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَجَعَلْنَ يُلْقِيْنَ، تُلْقِي الْمَرْأَةُ خُرْصَهَا وَسِخَابَهَا

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari Idul Fithri dua rakaat dan tidak shalat sebelum maupun sesudahnya. Kemudian (setelah menyampaikan khutbah kepada hadirin) beliau mendatangi tempat para wanita sementara Bilal menyertai beliau. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka mulailah mereka melemparkan perhiasan mereka (ke kain yang dibentangkan Bilal untuk menampung sedekah), ada wanita yang melemparkan anting-anting dan kalungnya.” (HR. Al-Bukhari no. 964 dan Muslim no. 2054)

Dan Allah Ta’ala sebutkan di antara yang akan mewarisi surga Firdaus adalah orang yang berinfak dalam keadaan lapang maupun sempit. Allah Ta’ala berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit." (Ali Imran: 133-134)

Dan itulah sifat orang yang berbahagia ketika bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanannnya karena itulah yang akan mensucikan harta-hartanya.

Di antara bentuk kebaikan telah Allah Subhanahu wata’ala jelaskan adalah berinfak sebagaimana dalam firman-Nya,

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al Baqarah: 177)

5. Tatkala bertambah kedudukan dan kemuliannya, maka ia semakin dekat dengan manusia dan menunaikan kebutuhan mereka dan tawadhu’ kepada mereka

Dan ini mencakup tatkala seseorang semakin bertambah kedudukan dalam pangkat dan jabatan maka ia semakin dekat dengan manusia, demikian pula tatkala sesorang semakin bertambah kedudukan dalam hal keilmuan dalam diin (agama) ia semakin bertambah dekat dengan manusia dan membantu kebutuhan mereka dalam mengajarkan mereka ilmu-ilmu ad diinul Islam.  Seperti seorang kakak kelas senior mau membantu adik-adik yuniornya dalam memberikan istifadah, mengajarkan mereka yang tertinggal pelajaran.

Lihatlah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam duduk dengan shahabatnya Radhiallahu’anhum, baik yang miskin maupun kaya, yang tua maupun yang masih kecil. Dalam sebuah hadits disebutkan nabi Shallallahu’alaihi wasallam makan dengan Amr bin Abi Salamah yang waktu itu masih kecil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seorang anak yang tangannya menjelajahi makanan yang terhidang saat itu. Lalu beliau pun mengajarinya tata-cara makan yang benar:

يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Nak, sebutlah dulu nama Allah, makan dengan tangan kananmu, dan makan dari makanan yang dekat denganmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

Demikian pula tatkala seorang budak wanita yang terbiasa membersihkan masjid Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tidak terlihat, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepada shahabatnya tentang wanita tersebut, Shahabat mengatakan bahwa ia meninggal. Rasulullah marah seraya berkata, "Mengapa kalian tidak memberitahu aku" Shahabat mengganggap remeh perkara meninggalnya wanita itu. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata, "Tunjukkan padaku di mana kuburannya" Dan setelah ditunjukkan maka nabi Shallallahu’alaihi wasallam menyolatkan wanita tersebut di atas kuburannya.

Wallahu a’lam

Kami adalah penuntut ilmu, seorang sunniy salafy

Ditulis dalam Renungan Salaf
KALENDER HIJRIAH

"Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Al Fatawa 4/149)

:: Pengunjung Blog Sunniy Salafy disarankan menggunakan Google Chrome [Klik disini] supaya daya jelajah anda lebih cepat ::

Radio Sunniy Salafy

Kategori
Permata Salaf

image