Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai dan Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan

asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman

Alhamdulillah, wa ashshalatu wa assalamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.

Sesungguhnya Allah Azza wajalla menciptakan setiap makhluk di atas fitrah (hati nurani yang lurus) sebagaimana firman-Nya,

فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (ar-Ruum: 30)

Dan di antara fitrah manusia adalah dia mencintai dan menginginkan al-haq (kebenaran). Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, “Qalbu setiap makhluk mencintai, menginginkan, dan mencari al-haq.” (Majmu’ Fatawa 10/88)

Beliau Rahimahullahu juga berkata, “Maka sesungguhnya al-haq itu lebih disukai oleh fitrah manusia, dan fitrah itu suka untuk menuju dan bersegera kepada al-haq, dan memusuhi kebathilan yang ada di sisinya yang bukan karakternya, karena memang fitrah itu tidak menyukai kebathilan.” (Majmu’ Fatawa 16/338)

Pada dasarnya, fitrah manusia sudah menempel di hati nurani untuk mencintai al-haq, karena memang hati nurani itu fitrahnya sudah mengenal al-haq, sebagaimana disebutkan dalam al Quran tentang Nabi Musa ‘Alaihis Salam,

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى

“Musa berkata: “Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Thaahaa: 50)

Dan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,

وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

“Dan dosa adalah apa yang terasa menganggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia.“ (Riwayat Muslim No. 2553)

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, “Hati nurani yang menyambut untuk merajihkan al-haq ketimbang kebathilan ketika dihadapkan pada dua keyakinan dan keinginan, ini sudah mencukupi bahwasanya dia dilahirkan dalam keadaan fitrah.” (Dar-u Ta’aridh al-‘Aqil wa an-Naqil 8/463)

Beliau Rahimahullahu juga berkata, “Allah Subhanahu wata’ala menciptakan hamba-Nya di atas fitrah yakni al-haq dan membenarkannya, juga mengenal kebathilan dan mendustakannya, juga mengenal perkara yang bermanfaat dan menyukainya, juga mengenal perkara yang memudharatkan dan memusuhinya, ini semua memang fitrahnya.
Maka, fitrah membenarkan bahwa al-haq (kebenaran) itu lebih patut untuk diterima. Dan fitrah mengetahui bahwa al-haq itu lebih bemanfaat. Fitrah lebih menyukai dan tenang menuju al-haq -yang demikian ini ma’ruf-. Dan fitrah membenci kebathilan dan mendustakannya, juga memusuhi serta mengingkarinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar.” (al-A’raaf: 157) (Dar-u Ta’aridh al-‘Aqil wa an-Naqil 8/463)

Memang demikian kondisi hati nurani yang mengenal al-haq, menginginkan dan menyukai al-haq, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ

“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (al-Qur’an) dari Rabbnya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah.” (Hud: 17)

asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullahu mengatakan (dalam menafsirkan ayat di atas):
Bukti yang nyata yaitu wahyu yang diturunkan oleh Allah, sedangkan seorang saksi yaitu dialah seorang saksi yang memiliki fitrah yang lurus, berakal, dan bisa memahami. (Taisirul Karimir Rahman, 379)

Berkata asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullahu, “Maka termasuk dari hikmah mereka orang-orang yang beragama adalah mengenal kebenaran dan mengamalkan kebenaran, mereka juga mengenal al-haq dan mengamalkan al-haq. (Taisirul Latiiful Muniir, 50)

Apabila hati nurani sudah menempel di atas fitrah, dia tidak akan mencari kecuali al-haq. Dan al-haq itu terpampang jelas lagi tidak tersamar.

Berkata Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’anhu,

فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ نُوْرًا

“Sesungguhnya di atas al-haq terdapat nuur (cahaya).” (Diriwayatkan al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/460)

Inilah Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu, seorang Yahudi, tatkala ia melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang hijrah sampai ke Madinah, ia mengetahui bahwasanya wajah beliau Shallallahu’alaihi wasallam adalah wajah seorang yang jujur.

Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu mengatakan, “Setibanya Nabi Shallallahu’alaihi wasalam, manusia mengerumuninya, maka aku termasuk dari mereka yang berkerumun. Manakala tampak jelas olehku wajahnya, aku mengetahui bahwa wajah beliau Shallallahu’alaihi wasallam bukanlah wajah seorang pendusta. Sesuatu yang aku dengar pertama kali dari beliau Shallallahu’alaihi wasallam adalah,

أَفْشُو السَّلَامُ، وَأِطْعَمُو الطَّعَامُ، وَصِلُو الْأَرْحَامُ، وَصّلُّوْا وَالنَّاسُ نِيَامُ، تَدْخُلُو الْجَنَّةَ بِسَلَامِ

“Hai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berilah makan (kepada faqir miskin), dan sambunglah hubungan kekerabatan, dan sholatlah di waktu malam tatkala manusia sedang tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat.” (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad 5/451, Tirmidzi No. 485. Berkata at-Tirmidzi bahwa hadits ini shahih)

Allah Azza wajalla dengan hikmah-Nya menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan menegakkan hujjah atas setiap makhluk, mengutus para Rasul ‘Alaihimus sholatu wasallam, dan menampakkan al-haq.

Maka wajib atas manusia untuk mengilzamkan (senantiasa berpegang teguh) di atas fitrah, dan berhati-hati dari sebab-sebab yang bisa menyimpangkan dan memalingkan dirinya dari al-haq. Jika dia telah berpaling dari al-haq niscaya dia akan menyimpang, memusuhi al-haq, dan memusuhi orang-orang yang berada di atas al-haq.

Merupakan karunia yang besar atas seorang hamba manakala dia mencintai dan mengutamakan al-haq, juga mencari al-haq (kebenaran) serta beriltizam (berpegang teguh) terhadapnya.

Berkata Abu Muhammad bin Hazm, “Karunia terbesar atas seorang hamba manakala ia ittiba’ di atas keadilan dan mencintai keadilan, juga ittiba’ di atas al-haq dan mengedepankan al-haq.” (Mudaawamah an-Nufuus, 31)

Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullahu, “Merupakan kesempurnaan seorang insan manakala ia memiliki dua karakter pokok, yakni mengetahui al-haq (kebenaran) dari yang bathil, dan mengedepankan al-haq ketimbang kebathilan. Dan tidaklah kokoh kedudukan seorang makhluk di sisi Allah Ta’ala di dunia dan akhirat kecuali dengan kadar kekokohan kedudukan mereka pada dua perkara pokok ini. Dan kedua perkara pokok ini merupakan sanjungan.
Allah Subhanahu wata’ala menyanjung para nabi-Nya dengan kedua perkara pokok ini melalui firman-Nya,

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الأيْدِي وَالأبْصَارِ

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Yakub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shaad: 45)

Aidiy bermakna kekuatan dalam mengedepankan al-haq, sedangkan Abshaar bermakna luasnya pengetahuan dan pemahaman yang benar dalam perkara agama. Maka mereka berada dalam kesempurnaan mengetahui dengan pasti al-haq dan kesempurnaan mengedepankan al-haq.” (al-Jawaabul Kaafi, 139)

Dan di antara sebab-sebab untuk senantiasa berada di atas al-haq adalah dia mengetahui apa-apa yang bisa memalingkan darinya. Seluruh faktor-faktor yang bisa memalingkan seseorang dari al-haq (kebenaran) bermuara pada:
1. Niat yang jelek dalam mencari al-haq,
2. Kebodohan dalam perkara agama,
3. Kezhaliman berupa syirik, bid’ah, dan maksiat,
4. Menempuh jalan yang bukan jalan petunjuk, yakni dia menempuh jalan yang menyimpang dari pemahaman salafuna shalih.

Wallahu a’lam

[Dinukil dari Muqaddimah Kitab Shawaarifu ‘anil Haq, Penulis asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman]

Baca juga 5 artikel terakhir di Blog Sunniy Salafy:

Kami adalah penuntut ilmu, seorang sunniy salafy

Ditulis dalam Al Manhaj As Salafus Shalih, Shawarif 'anil Haq

Tinggalkan komentar

KALENDER HIJRIAH

"Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Al Fatawa 4/149)

:: Pengunjung Blog Sunniy Salafy disarankan menggunakan Google Chrome [Klik disini] supaya daya jelajah anda lebih cepat ::

Radio Sunniy Salafy

Kategori
Permata Salaf

image